Selamat Datang Orang Gila !!! .:: Welcome Lunatic ::.

Football is Our Religion

Diambil dari forum Aremania di LigaIndonesia.com, tulisan dari Andi BachtiarYusuf, sutradara The Conductors. Nuwus untuk Mbak Pur yang melemparnya ke milis Arema.

“Football without fans is life without sex” -Jock Stein-

Uki Nugraha memandangi telepon genggam di tangannya, ia tersenyum, seringainya dipamerkannya pada saya. “Kawan-kawan Maczman mengirim pesan ini,” sebaris pesan singkat terbaca “Luar biasa sekali Daeng, aksi Aremania bagus bener,” Saya dan Uki serta merta tertawa, sementara Stadion Kanjuruhan di kawasan Kepanjen, Malang terus digemuruhi aksi Aremania. “Kalian nonton di tv, aku disini…..merinding!!!!” balas Uki lewat pesan singkat pada rekannya di seberang pulau sana, di Makassar.

Malang memang selalu membuat pencinta sepakbola sejati merinding, empat kali saya ke Malang demi sepakbola, empat kali itu pula saya terpukau atas keheroikan orang Malang. Saat orang menyebut sepakbola Indonesia sudah mati, Aremania menunjukkan bahwa hidup itu masih ada.

Hari masih menunjukkan pukul 09.30 WIB saat saya dan tim kerja saya turun dari kereta. Kami baru saja datang dari Sleman menyaksikan pertandingan PSS-Persija, sementara di Malang, Arema-PSM adalah sasaran kami. Di Stasiun Kotabaru, 6 jam sebelum kick off atmosfer sepakbola sudah benar-benar terasa.

Fans Feyenoord RotterdamSaya jadi teringat hampir tiga tahun lalu, di Rotterdam, di sebuah hari Kamis saat Feyenoord, tim kebanggaan masyarakat Rotterdam bersiap menghadapi Schalke di babak 8 besar UEFA Cup.

Satu hari penuh saya melihat Rotterdam yang menjadi Feyenoord, orang-orang pergi ke kantor dengan dasi Feyenoord, anak kecil ke sekolah dengan tempat makan Feyenoord, ibu-ibu di pasar dengan syal milik tim yang saat itu diperkuat oleh Shinji Ono tersebut sampai jendela-jendela dengan bendera Feyenoord terpajang. (foto dari sini)

Di Malang saya merasakan kekuatan atmosfer yang sama, dan menemukan kembali bahwa sepakbola selalu memiliki kekuatan lebih besar dari kekuatan duniawi lainnya.

Orang menyebut dirinya Monas, tak jelas apa penyebabnya. Dialah orang yang nantinya bertugas mengantarkan kami selama kami berada di Kota Malang. Lelaki yang ukuran tubuhnya sama sekali tidak mirip Monas ini adalah seorang supir angkot (angkutan kota-red) dan seperti ritual-ritual pendukung tim dimanapun di dunia, Monas sedang menghabiskan minuman beralkohol di depan stasiun sembari menunggu kami.

Ia tentu saja tidak sendirian, 5 orang rekannya juga berada disitu. Mereka terus menghabiskan berbotol alkohol sembari bernyanyi mars-mars Aremania “Disini Arema berjaya, disini Arema menang…….” Hanya salah satu contoh senandung yang menyelinap dari aroma alkohol di nafas mereka. Di tembok stasiun, gamba-gambar Singa sebagai lambang tim kesayangan terserak di mana-mana. Bisa berbentuk graffiti bisa berbentuk sekedar slogan. Hari itu Minggu 22 April 2007, Singo Edan akan menghadapi tim Juku Eja dari Makassar.

Malang terletak sekitar 2 jam perjalanan dari Surabaya, sejak lama kota ini memendam persaingan yang sangat kental dengan saudara mereka di Surabaya. Apapun yang berbau Surabaya selalu mengundang kebencian bagi mereka, jangan heran jika Aremania yang mempunyai kecenderungan damai justru selalu bentrok jika berjumpa dengan para Bonek dari Surabaya atau apapun yang berbau Kota Buaya.

Surabaya bagi mereka adalah simbol kemapanan kota besar, menjadi beda dengan kemapanan adalah salah satu tujuan yang ingin dicapai kelompok masyarakat ini. Konon, budaya walikan adalah salah satunya. “Laskar Ongis Nade adalah sebutan kami,” ujar Yuli Sugianto alias Yulis Soemphil salah seorang pentolan Aremania dari kawasan Sumpil. Ciri walikan atau terbalik adalah sesuatu yang hanya dimiliki oleh Arek Malang, tidak oleh masyarakat lain “Begitu kira-kira Fusuy,” Yuli tertawa saat menyebut nama saya yang disebut secara walikan.

Aremania di Stadion Kanjuruhan
foto diambil dari sini

Berbeda seperti Jakarta di hari pertandingan, Malang berubah menjadi jauh lebih hidup. Seperti di Rotterdam dan kota-kota Eropa lainnya, orang Malang tiba-tiba merasa wajib untuk mengenakan segala atribut Arema. Ratusan motor bergerak menuju Kepanjen, ribuan orang berjalan di pematang sawah yang praktis mengelilingi Stadion yang terletak di pinggir kota tersebut. Puluhan angkutan umum dan kendaraan pribadi lainnya pun ramai dipenuhi Arek-Arek Malang yang ingin menyaksikan timnya menaklukkan lawannya “Taklukkan lawanmu di kandang singa….” Teriak mereka di penjuru kota Malang.

Handoko alias Benjol adalah seorang Aremania sejati. Walau akibat bekerja ia terpaksa mengurangi frekwensi datang ke stadion, Benjol tetap berhati Ongis Nade “Arema adalah perlawanan!” tegasnya. Bisa jadi ia benar, Singo Edan sebenarnya hanyalah salah satu contoh dari tim yang tidak mendapat bantuan dana dari pemerintah daerah, namun tim ini adalah satu-satunya tim yang mendapat dukungan penuh dari masyarakat yang berdomisili disitu “Bahkan mereka bisa jadi jauh lebih antusias daripada tim pelat merah lainnya,” ujar Firmansyah Husein, seorang rekan yang bekerja di sebuah stasiun TV swasta.

Di Malang ada satu tim besar lain “Tapi bagi kami mereka kecil,” ujar Benjol dengan mimik sangat serius. Tim dengan kostum merah itu bernama Persema (Persatuan Sepakbola Malang), tapi tim ini sama sekali tidak memiliki tempat di hati Arek Malang. “Ada sih yang datang nonton, tapi mereka bukan pendukung hanya sekedar menonton,” ujar Cahyo seorang fotografer media olahraga di Indonesia. “Arema menghidupi diri mereka sendiri, tanpa bantuan siapapun, kami tim profesional dan mungkin satu-satunya di Indonesia,” Yuli mengangkat gelas bir miliknya menegaskan keyakinannya.

Indonesia adalah negara dengan fanatisme sepakbola luar biasa, saya mencatat bahwa atmosfer sepakbola di Indonesia mampu mengalahkan atmosfer sepakbola Eropa sekalipun. Bahkan Arya Abhiseka yang pernah bekerja di jaringan O Globo, Brazil dan sempat menyaksikan bagaimana sepakbola diperlakukan di Amerika Latin menyebut “Saya menempatkan Aremania di jajaran 5 besar terbaik di dunia,”

Fanatisme dan antusiasme luar biasa ini memang belum diikuti oleh prestasi tim nasional yang memadai, atau sekurangnya berbanding lurus dengan kegilaan-kegilaan itu sendiri. Tapi, di negeri ini sepakbola adalah alat politik yang luar biasa. Seorang Gubernur bisa menjadi pusat perhatian dan simpati saat ia terus menggelontorkan dana besar pada tim lokal di kota tersebut. Kandidat Bupati atau Walikota dengan janji memajukan sepakbola lokal dengan dana besar bagi tim setempat dijamin akan mendapat tempat di hati rakyat. Konon seorang Walikota yang sudah merosot popularitasnya tiba-tiba menjadi sosok paling terkenal saat ia mengalihkan beberapa dana pendapatan daerah bagi “perkembangan” sepakbola di kota tersebut.

“Bahkan ada daerah yang anggaran timnya bisa lebih besar daripada pendapatan asli daerah tersebut,” tulis sebuah media. “Tapi itu tidak berlaku disini!” tegas Benjol. “Pemerintah berarti kemapanan dan politik adalah manipulasi,” tambahnya dengan nada penuh semangat “Bahkan warna merah yang mereka (Persema) pakai adalah hasil rekayasa partai politik penguasa,”

Pembicaraan ini saya alami kurang lebih 2 bulan sebelum kedatangan selanjutnya yang saya tulis di awal cerita ini. Saat itu saya merasa Benjol berlebihan, ketika kembali ke Malang untuk pertandingan lain, saya menyetujui semua ucapan Benjol tentang perlawanan tadi. Berada diantara Aremania selama total 7 hari, saya merasakan kebencian mereka yang besar pada dua hal, Surabaya dan Persema! “Ini bukan soal derby tapi lebih pada soal harga diri kami,” tegas Yoseph Nanda Nafasan alias Kepet.

Harga diri? Bisa jadi, rasa mandiri itulah yang mungkin mereka sebut sebagai harga diri. Tak terbayangkan dalam diri mereka bagaimana hidup seperti kerbau yang dicocok hidungnya. “Harga diri ini yang membuat kami pasti membeli karcis jika nonton ke stadion,” jelas Isa Prio Utomo alias Kampret.

Fakta lain juga menyebutkan bahwa sifat Arema memang sudah ada dalam diri Arek Malang bahkan jauh sebelum tim ini lahir di tahun 1987, apalagi Arema adalah akronim dari Arek Malang.

Panggil saja dirinya Yuli, di Malang bahkan anak-anak kecil yang kami jumpai di tengah jalan bisa akan mengenali nama lelaki berusia 31 tahun tersebut. Di luar stadion ia adalah sosok yang menyenangkan, pria yang sangat ramah dan selalu tersenyum. Tapi di dalam stadion, saya membayangkan Mick Jagger saat menjadi saksi bagaimana seisi stadion menghormati dirinya.

Bayangkan, ia datang dari sisi utara tribun timur yang hari itu sekurangnya dipadati 35.000 Aremania. Tak pernah Yuli datang jauh-jauh waktu, ia memilih 30 menit sebelum pertandingan sebagai saat terbaiknya “Karena 30 menit pas untuk memanaskan suasana dan tidak terlalu membuat mereka jenuh,” jelasnya. Dari sisi utara tribun timur ia bergerak perlahan menuju “panggungnya” tepat di tengah tribun timur.

Kanjuruhan yang sudah dipadati paling tidak 35.000 orang mendadak menyepi. Mereka yang berada di tribun timur sontak mengambil satu langkah mundur untuk memberi jalan bagi “sang superstar”. Dengan senyumnya yang simpatik, Yuli melangkah menuju “singgasananya”, hampir di setiap langkah ia terpaksa berhenti untuk menerima tawaran minuman beralkohol dari Aremania. Saya menduga, bisa jadi ia sudah menenggak total 2 botol saat berdiri di depan Aremania.

Stadion mendadak hening dan Yuli sudah berdiri di depan mereka, maka dimulailah aksi-aksi tersebut. Orang bilang sepakbola Indonesia adalah pangkal muasal kerusuhan, terus terang saya selalu tidak menemukannya setiap menyaksikan tim apapun bertanding. Saya selalu menemukan keceriaan, warna hidup dan makna hidup yang luar biasa. Di Malang saya menemukan arti itu menjadi lebih besar.

“If you also have football in your country, means you are civilise,” ujar Antony Sutton seorang Gunners yang kini tinggal di Jakarta. Orang London yang menyebut dirinya berasal dari “500 metres from the home of the real football,” ini menemukan orang Indonesia memahami arti sepakbola sebenarnya. “Just like us, when we’re really believe in the game 10 years ago,”

Yuli The Conductors
foto oleh zoel

Yuli adalah magnet, setiap gerakannya menjadi dogma yang diikuti oleh para Ongis Nade yang berada di stadion. Saat tangannya bergerak keatas, semuapun mengikuti, ketika tubuhnya yang kurus condong ke kiri atau ke kanan, nyaris tak ada yang lewat untuk tidak mengikutinya. Puncaknya saat seisi stadion menyanyikan lagu ‘Satu Nusa Satu Bangsa’, bergetarlah Kanjuruhan oleh satu gerakan yang sama dan nyanyian yang sama, ini pun masih dipuncaki lagi saat mereka akhirnya mampu menaklukkan Persebaya 2-1 atau PSM 3-0.

Sementara Stadion Gajayana markas Persema sepi dari penonton, Stadion Kanjuruhan si kandang singa dipadati oleh sekurangnya 45.000 Aremania yang terus bersorak memberi dukungan. Hari itu adalah hari yang sama kala Persema memukul PSSB di Gajayana, di jantung kota Malang. “J*#*uk!!! Harusnya mereka kalah saja,” ujar Kampret.

Tak ada satupun Aremania yang senang saat tahu saudara sekota mereka menang 2-0 di kota mereka. “Tim macam ini bagusnya dibubarkan, mereka sama saja dengan Bonek, kami ini bondo duit (punyanya duit) mereka bondo nekad (punyanya nekad),” sergah Yuli. Menjadi mandiri memiliki kebanggaan tersendiri, padahal secara akar tradisi Arek Malang baru menyebut diri mereka Aremania dengan fanatisme sedahsyat sekarang barulah di sekitar awal 1990an, bisa jadi malah kala Arema menjuarai kompetisi profesional Indonesia saat itu alias Galatama.

Sebagai sebuah fanatisme, Aremania mungkin saja masih baru. Namun kegilaan, fanatisme, hasrat dan segalanya bisa jadi lebih dahsyat dari yang dimiliki oleh pendukung fanatik dari tim-tim dengan tradisi panjang macam PSM, PSMS, Persib atau mungkin Persebaya sekalipun. “Baru kali ini berada di Kanjuruhan dan kali ini pula saya terkesima,” ujar Uki putra Sulawesi asli yang datang ke Malang khusus demi PSM.

“Usia Arema memang belum panjang, baru 20 tahun di 2007 ini, tapi fanatisme Aremania seperti berusia ratusan tahun,” sergah Firmansyah yang berulang kali menyayangkan pilihan saya menjadikan Jakmania sebagai obyek dokumenter sepakbola pertama. “Saya bukan mau bilang bahwa Jakmania jelek, tapi Aremania yang terbaik,” tentu saja pembelaan diri saya adalah, jarak dan dana menjadi kendala, apalagi “Semua sponsor bilang saya gila saat datang ke mereka dan berkata minta uang untuk bikin dokumenter suporter sepakbola Indonesia,” kelit saya jujur.

Menelusuri kota Malang membuat saya benar-benar merasa berada di sebuah kota sepakbola di Eropa. “Football is my religion, The Valley is my church,” adalah salah satu contoh slogan yang saya lihat di tembok Tenggara kota London dimana Charlton FC berada. Pria dengan tato bergambar singa di lengan atau dadanya, patung singa yang terpajang di sudut-sudut jalan, mobil yang dilukis singa sampai anak-anak kecil yang terus saja menyanyikan mars terhadap Aremania.

“Suporter sepakbola adalah orang terkaya di dunia, mereka bisa bepergian kemana mereka mau mengikuti tim kesayangan,” kisah Benjol “Dulu saya kaya, sekarang jatuh miskin karena bekerja dan berkeluarga,” sambung Benjol. Kehilangan banyak waktunya di tempat pekerjaan, tidak membuat lelaki berusia 29 tahun ini menjadi lembek, di hatinya masih terpahatkan singa dan kediamannya masih saja menjadi tempat berkumpul Aremania lainnya. Saya dan tim kerja saya juga memilih untuk tidur di tempatnya selama kami berada di Malang.

“Tapi saya tidak pernah keluar dari Aremania, bahkan tidak pernah masuk,” wajahnya sangat serius. Baginya dan bagi seluruh Aremania, menjadi Aremania dan mencintai si Singa bukan masalah kartu anggota tapi lebih dalam dari itu, yakni di hati dan jiwa.

Aremania praktis tidak pernah dilahirkan, agak sulit melacak kapan mereka mulai terlihat di stadion. Ada yang menyebut saat Singo Edan menjuarai Galatama, ada yang menyebutnya saat Arema pertama kali mentas di Gajayana, atau ada pula yang menyebut bahwa Aremania sudah ada jauh sebelum Arema dilahirkan “Aremania yang sepakbola ya ketika Arema lahir, tapi jauh sebelum itu kami sudah ada, karena Aremania adalah Arek Malang dan kami semua ini adalah Arek Malang,” jelas Kepet.

Tanpa organisasi dan ketua membuat Aremania menjadi sangat independen bahkan di masalah pengaturan diri mereka sendiri “Jika pun ada korwil, itu lebih karena memang dibutuhkan sebagai titik-titik penjualan karcis,” jelas Kampret.

Kemandirian mereka juga tercermin saat pergi mendukung timnya bertandang ke luar kota. Tidak ada kuota kapasitas stadion dimanapun yang sanggup menahan laju kedatangan mereka, tidak juga PSSI. Ketika kelompok suporter lain sibuk mengatur bagaimana tata cara menonton tandang, Aremania langsung angkat tas dan berangkat menuju kota tujuan dengan bekal secukupnya. Di kota tujuan itulah mereka biasanya baru bertemu dengan teman-teman sekampung mereka.

“Tak ada ketua, tak ada struktur organisasi dan tak ada kartu anggota, tapi Anda lihat saja sendiri bagaimana kami hidup,” Benjol menegaskan, tumpukan karton susu dari tempat ia bekerja terlihat memenuhi sebagian ruang tamunya. Saya sudah membuktikan sendiri penjelasan-penjelasan ini, baik di Malang beberapa waktu ini atau di Jakarta 3 tahun lalu, saat mereka berada di posisi 2 dari bawah dan sudah dipastikan akan terdegradasi.

Hari itu di Lebak Bulus mereka bertarung melawan Persija, sama sekali tidak menentukan karena apapun hasil, Singo Edan akan terlempar ke Divisi I. Sepikah dukungan? Sama sekali tidak, catatan menyebut setidaknya 3000 Aremania datang ke Jakarta. Bandingkan dengan tim-tim lain yang berada dalam keadaan kritis yang sama, saya memang tidak menyaksikan semuanya. Tapi setiap kali saya menjadi saksi, hanya segelintir pendukung yang datang, lebih parah lagi banyak pendukung sepakbola yang memilih siapa lawan. “Kalau perlu, pergi ke neraka pun Aremania akan pergi mendukung,” kalimat ini terpampang di situs Aremania.

Aremania adalah fenomena, publik sepakbola Indonesia mengenal mereka sebagai salah satu pelopor gerakan suporter atraktif di Indonesia. Mayor Haristanto, pendiri Pasoepati (Pasoekan Suporter Sejati) di Solo menyebut Aremania sebagai “Soko guru Pasoepati,”. Di kala suporter lain masih mendukung dengan cara “biasa”, Aremania memberikan sesuatu yang berbeda.

Suporter Boca Junior di La Bombonera
Suporter Boca Junior di Stadion La Bombonera. (foto diambil dari sini)

“Bermain di Bonbonera berbeda dengan di Eropa, hanya pendukung Boca Juniors yang terus bernyanyi sepanjang 90 menit pertandingan,” ujar Juan Roman Riquelme, bintang Argentina yang baru saja kembali bermain di negerinya setelah beberapa tahun berada di Eropa bersama Barcelona dan Villareal. Riquelme jelas salah! Ia tampaknya harus sowan ke Indonesia agar tahu bahwa di negeri ini, para fanatis juga tahu bagaimana cara mendukung tim kesayangannya dengan benar.

Sama seperti di Amerika Latin, di Indonesia tontonan sepakbola adalah agama dan stadion adalah kuil persembahan pada agama tersebut. Jika saja negara bisa mengakui lebih dari 5 agama, maka sepakbola akan mendapat tempat di jajaran kepercayaan tersebut. Aremania adalah fakta, bukan fenomena, kecintaan mereka pada Arema lebih tinggi dari kecintaan mereka terhadap diri mereka sendiri.

Well…Malang memang bukan Jakarta, di kota itu klub sepakbola adalah nafas bagi mereka, representasi diri yang disematkan menjadi kebanggaan seluruh masyarakat kota. Ketika di ibukota, kelompok suporter sepakbola dianggap sebagai biang pengacau, maka disini semua orang adalah “biang pengacau” tersebut, karena mereka semua mencintai satu ikon yang sama, Arema Malang.

(Andi BachtiarYusuf, filmmaker & football reverend)


Menurut anda tentang blog ini?