USULAN KEBIJAKAN BERAS DARI BANK DUNIA: RESEP YANG KELIRU
ABSTRAK
Kebijakan perberasan Indonesia telah menjadi perhatian buat sejumlah lembaga internasional, seperti Bank Dunia. Lembaga ini telah lama mengeritik dan menintervensi sejumlah kebijakan pembangunan ekonomi, termasuk kebijakan perberasan. Tampaknya, kelakuan Bank Dunia belum banyak berubah di era desentralisasi dan demokrasi. Seharusnya yang diberi peran besar adalah masyarakat sipil, partai politik, DPR/DRPD, Pemda, dan peneliti dalam merancang kebijakan publik. Itu bukan lagi menjadi domain peneliti, apalagi ahli asing. Dalam makalah ini dibahas tentang kelemahan cara pandang Bank Dunia terhadap kebijakan beras di Indonesia, terutama yang dikaitkan dengan kemiskinan. Kelemahan itu mencakup pengukuran kemiskinan yang terlalu sempit, dan bias jangka pendek, bukan melihat kemiskinan manusia yang bersifat struktural dan kronis. Hampir tidak pernah dijumpai dalam literatur ekonomi pembangunan, bahwa kemiskinan di negera-negara berkembang dapat diatasi dengan memurahkan pangan. Itu konsep pengentasan kemiskinan yang keliru. Yang benar adalah gerakan sektor riil, ciptakan lapangan kerja, serta tingkatkan produktivitas terutama di sektor pertanian di mana penduduk miskin banyak menggantungkan hidupnya. Industri padi/beras adalah salah satu diantaranya. Bukan membuat harga beras murah.
Pendahuluan
Sejak akhir 2006, Bank Dunia semakin sering mengeritik pemerintah tentang kenaikan harga beras, baik terbuka maupun tertutup. Akhir-akhir ini, Bank Dunia semakin aktif melobi dan menawarkan resep buat pemerintah, agar Indonesia menempuh privatisasi lembaga pangan, melepas cadangan beras nasional ke swasta, dan liberalisasi impor, mendorong agar swasta diperankan sebagai stabilisator harga dalam negeri. Lembaga pemerintah seperti Bulog dianggap tidak becus dalam melaksanakan fungsinya. Mereka yakin sekali, pasar dapat menyelesaikan instabilitas harga, maupun kemiskinan (World Bank 2007).
Perilaku Bank Dunia di Indonesia tampaknya belum berubah, belum belajar dari kekecewaan masyarakat Indonesia atas keambrukan ekonomi, terjerat hutang luar negeri, serta terlalu banyaknya sumberdaya alam, perbankan dikuasai oleh perusahaan asing. Pendapat Bank Dunia termasuk juga berbagai hasil penelitiannya, tidak kredibel di mata masyarakat luas di Indonesia. Di Makasar misalnya, Bank Dunia terpaksa harus menghilangkan atribut Bank Dunia di kantor di mana proyek mereka ada. Sebelumnya, hampir setiap hari ada saja demonstrasi ke kantor proyek Bank Dunia, sehingga mereka tidak nyaman bekerja.
Sebaik apapun saran Bank Dunia, masyarakat Indonesia pasti mencurigainya, ini akibat dari reputasi mereka masa lalu. Itu akibat dari peri laku mereka sebagai salah satu lembaga perusak ekonomi, termasuk ekonomi Indonesia (Perkin 2004). Tujuan makalah ini adalah untuk menilai kelemahan cara pandangan yang bias tentang kebijakan beras Bank Dunia.
Domain Publik bukan Domain Peneliti
Bank Dunia seharusnya memahami benar, tentang cara-cara menyusun kebijakan publik di era demokrasi, tidak boleh didikte oleh segelintir para ahli. Pada era sentralisasi Orba, para teknokrat dan birokrat –dibantu oleh tenaga ahli asing- berperan besar dalam mendikte kepentingan masyarakat banyak. Namun dalam era demokrasi, peran masyarakat dalam proses penyusunan kebijakan publik-seperti kebijakan beras- haruslah lebih besar.
Kebijakan beras itu adalah domain kebijakan publik. Kebijakan beras harus mendapat dukungan luas dari masyarakat sipil, DPR, pemerintah daerah, tidak boleh didikte oleh peneliti, apalagi oleh lembaga asing yang kurang memahami rumah tangga petani dan masyarakat desa secara mendalam. Disamping itu, apabila saran-saran mereka diterapkan pemerintah, diperkirakan itu akan sulit diimplementasi di lapangan, apabila kurang dukungan publik, kurang dukungan Pemda, serta akan selalu dipersoalkan oleh DPR/DPRD.
Kebijakan beras yang mereka susun itu (Bank Dunia 2007) melulu mengacu ke literatur asing. Dari total hampir 100 jumlah literatur, hanya 3-4 literatur yang ditulis oleh orang Indonesia asli. Padahal, banyak studi tentang padi/beras yang telah dilakukan oleh para ahli bangsa Indonesia, tetapi diabaikan tanpa dipakai sebagai bahan rujukan. Ini menunjukan juga bagaimana miskinnya Bank Dunia dalam memahami pikiran para ahli Indonesia.
Namun mereka mencoba mempengaruhi sejumlah menteri ekonomi yang beraliran neo liberal. Bank Dunia juga rajin menyampaikan gagasan perubahan kebijakan beras pada berbagai forum sejak akhir 2006, baik dengan cara mengundang sejumlah ahli Indonesia ke markas mereka di Jakarta. Atau mengadakan seminar di luarnya, seperti di lembaga PBB (CAPSA) di Bogor. Namun, mereka menghindari diskusi terbuka dengan masyarakat luas (civil society) atau dengan para pakar Indonesia di luar kubu mereka.
Bank Dunia langsung menyampaikan gagasannya ke tingkat pengambilan keputusan tentang kebijakan beras ke Kantor Menko Perekonomian atau ke sejumlah menteri lain yang sealiran dengan Bank Dunia. Penulis juga kaget, ada power point tentang kebijakan beras Bank Dunia disiapkan untuk SBY. Ini keterlaluan.
Net Konsumen? Data Susenas vs data Tingkat Usahatani
Bank Dunia mengatakan bahwa telah terjadi kenaikan jumlah orang miskin yang cukup serius sejak harga beras naik. Itu buruk buat penduduk miskin, karena sebagian besar petani adalah net konsumen. Pandangan ini adalah keliru.
Pola panen padi adalah musiman, mereka surplus pada MPR (musim panen raya) dan MPG (musim panen gadu), dan defisit hanya pada MP (musim paceklik). Tetapi, data SUSENAS BPS memperlihatkan sebaliknya, sebagian besar petani padi adalah net konsumen. Data SUSENAS haruslah dianalisa dengan hati-hati dalam kaitannya dengan estimasi produksi musiman dan pengeluaran musiman. SUSENAS menaksir tahunan berdasarkan hasil penelitian seminggu, kemudian dikalikan menjadi tahunan. Hasilnya adalah defisit produksi (net consumer), seolah-olah terjadi sepanjang tahun. Data itulah yang dipakai Bank Dunia untuk mempertahankan argumentasinya.
Namun, hasil studi intensif yang dilakukan oleh Sumaryanto dkk (2002) di DAS Brantas dilaporkan sebaliknya. Para petani mengelola usahatani padi untuk MH, MK1 (musim kemarau pertama) dan MK2, masing-masing seluas 0.35 Ha, 0.33 Ha, dan 0,23 Ha per petani. Luas ini adalah umum dijumpai pada usahatani pangan, khususnya padi di Indonesia. Mereka melaporkan bahwa konsumsi per kapita sebesar 107 Kg/kap/tahun (Table 1). Ini adalah jumlah yang dikonsumsi langsung oleh rumah tangga tani, belum termasuk konsumsi tidak langsung seperti makan di warung, pesta, tempat kerja dll.
Table 1. Per kapita konsumsi beras oleh petani miskin dan petani tidak miskin di DAS Brantas, Jawa Timur: 1999/2000.
Wilayah | Petani Miskin | Petani Tidak Miskin | TOTAL | |||
% RT | Kg./ kapita | % RT | Kg./ Kapita | HH | Kg./ Kapita | |
Hulu | 42.5 | 106.6 | 57.5 | 120.5 | 120 | 114.6 |
Tengah | 53.0 | 109.2 | 47.0 | 102.2 | 200 | 105.9 |
Hilir | 56.9 | 105.1 | 43.1 | 101.7 | 160 | 103.6 |
Total | 51.7 | 107.2 | 48.3 | 107.5 | 480 | 107.3 |
Note: RT=Rumah tangga
Sumber: Sumaryanto dkk (2002)
Rataan produksi padi sekitar 462 Kg/kapita/tahun. Terungkap adanya marketablesurplus 1) sekitar 354 Kg/kap/tahun. Marketable surplus di musim hujan lebih tinggi dari MK1, namun negatif pada MK2. Pada MK2, banyak petani tidak tanam padi karena kekurangan air, sehingga luas usahatani merosot (Sumaryanto dkk 2002). Oleh karena itu, tidaklah tepat untuk mengasumsikan bahwa semua petani sempit sebagai net konsumen sepanjang tahun. Yang benar adalah mereka net produsen pada dua musim pertama, atau hanya net konsumen di musim paceklik (MK2). Keputusan konsumsi dan pengeluaran bergantung pada asumsi itu. Oleh karena itu, asumsi net konsumen untuk petani padi adalah tidak didukung oleh data empiris.
1) Marketable surplus adalah produksi dikurangi konsumsi rumah tangga yang sedang dipelajari
Terabaikan Peran Non-Food Services
Seterusnya, laporan Bank Dunia (2007) itu juga terlalu sempit dalam melihat industri beras yaitu hanya sebagai industri penghasil padi/beras untuk tujuan komersial belaka. Mereka tidak menilai peran pangan, khususnya beras yang menghasilkan non-food services. Itu menyangkut stabilitas politik, stabilitas ekonomi, distribusi pendapatan, penyerapan tenaga kerja. Harga beras yang berlaku di pasar belum memperhitungkan non-food services yang ia berikan ke publik (Dillon dkk 1999). Konsumen seharusnya perlu membayar harga beras lebih tinggi dari tingkat harga pasar, sekiranya non-food services itu diperhitungkan.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa padi/beras adalah industri kunci dalam pembangunan, khususnya pembangunan perdesaan. Kalau suatu industri yang erat kaitannya ke depan dan kebelakang, menyerap tenaga kerja yang begitu besar, pengangguran tinggi, terutama di perdesaan, maka industri itu harus dianalisa keterkaitannya yang luas, tidak dianalisa secara parsial. Oleh karena itu, industri padi/beras harus dilihat dengan hati-hati dan bijaksana, jangan bias ke jangka pendek.
Kembali ke harga, sebagai salah satu insentif buat pelaku usaha, namun itu bukanlah satu-satunya insentif buat mereka. Peningkatan produktivitas dan efisiensi, merupakan insentif lain yang tidak boleh dibaikan, itu terkait dengan non-price incentive. Insentif harga dan non-harga akan saling memperkuat, bukan saling menggantikan. Oleh karena itu, insentif non-harga tidak ampuh manakala harga gabah/beras terlalu rendah, tidak mampu menutupi ongkos produksi.
Tingkat kemiskinan yang dikaitkan dengan harga beras, merupakan cara pandang sempit. Itu hanya cara hitung menghitung, amat jangka pendek dan ad hoc sifatnya. Kita jangan mengorbankan kepentingan jangka panjang, hanya sekedar untuk mencapai kepentingan jangka pendek. Adalah hampir tidak mungkin, kemiskinan jangka panjang dapat dikurangi secara berkelanjutan, manakala industri beras/padi redup.
Keredupan ini, tidak dengan sendirinya akan tergantikan oleh komoditas lain, seperti hortikultura. Kita tidak boleh menghambat suatu industri yang punya keunggulan komperatif, dipaksakan untuk keluar dari industri itu, padahal industri lain belum kuat terbangun. Pengembangan hortikultura misalnya, akan berisiko tinggi dan instabilitas harga yang besar, karena infrastruktur pemasaran dan distribusi yang masih amat lemah. Apabila mereka beralih ke sektor lain dalam kondisi infrastruktur itu belum diperkuat, maka akan menggiring petani sempit untuk menanggung risiko yang tinggi. Itu tidak akan mampu mengurangi jumlah orang miskin secara berkelanjutan.
Itu mengingatkan pengalaman Mexiko dalam meliberalisasi komoditas jagung sebagai makanan utama mereka, dan petani jagung dialihkan ke kentang. Namun petani Mexiko tidak beralih ke tananam kentang, mereka pindah ke kota. Sebagian juga bermigrasi ke AS (IATP 2007a dan Albert 2004). Penanganan kentang berbeda dengan jagung, terutama dalam penyimpanan, karena pemerintah belum menyiapkan infrastruktur yang layak untuk itu. Yang terjadi adalah peningkatan kemiskinan dan pegangguran di perdesaan Mexiko.
Pada saat kita mengabaikan sektor kunci seperti sub-sektor padi/beras, maka risikonya menjadi besar. Pada situasi pengangguran tinggi dan penggangguran tidak kentara di desa amat menonjol, itu akan menambah kemiskinan dan akan mendorong bertambahnya urbanisasi. Perkotaan akan menerima beban dan akibatnya, seperti kekumuhan, kriminalitas dan keresahan sosial yang terus bertambah. Itu buah dari urbanisasi yang berlebih, mengabaikan peningkatan pendapatan serta lapangan kerja di perdesaan.
Perdagangan tentu tidak dapat menyelesaikan semua itu, apalagi kemiskinan. Mengotak atik harga pangan agar dibuat murah, sama saja memberi obat penghilang rasa rasa sakit sementara (pin killer), tetapi tidak menyembuhkan penyakit itu sendiri. Penyakit utama adalah lapangan kerja yang terbatas, produktivitas rendah, insentif untuk bekerja di sektor pertanian merosot. Insentif harga adalah salah satu yang tidak boleh diabaikan untuk itu. Demikian juga, pada saat harga beras turun murah yaitu terjadi pada periode import surge yang tinggi periode 1998, 2002, dan 2003, ternyata jumlah orang miskin tetap tidak berkurang secara signifikan. Namun, pada saat harga beras naik, harga beras dianggap sebagai faktor penyebabnya, tidak sebaliknya. Itu amat tidak realistis.
Hampir tidak pernah dijumpai dalam literatur ekonomi, bahwa kemiskinan di negera-negara berkembang dapat diatasi dengan memurahkan pangan. Itu konsep pengentasan kemiskinan yang keliru. Yang benar adalah gerakan sektor riil, ciptakan lapangan kerja, serta tingkatkan produktivitas terutama di sektor pertanian di mana penduduk miskin banyak menggantungkan hidupnya. Industri padi/beras adalah salah satu diantaranya. Bukan membuat harga pangan atau beras murah sehingga menjadi tidak wajar buat petani.
Harga Beras dan Kemiskinan: Keganjilan Analisa
Kelemahan lain kaitan harga beras dengan kemiskinan yang dibuat Bank Dunia, telah dibahas dengan baik oleh Sugema (2006). Ia mengatakan bahwa Bank Dunia keliru dalam menyimpulkan hubungan itu. Beras memang besar kontribusinya dalam inflasi, 23%. Namun peran non-beras jauh lebih tinggi mencapai 77%.
Ia juga menyebutkan bahwa hasil penelitiannya dan penelitian lain seperti yang dilakukan UNIDO dan UNSFIR, menemukan bahwa angka kemiskinan BPS amat sensitif dari pengaruh inflasi. Penyebab inflasi tidak sama dengan komponen inflasi. Harga beras adalah komponen inflasi, yang belum tentu penyebab inflasi itu sendiri.
Ia juga mengatakan bahwa adalah keliru kalau memfokuskan pengentasan kemiskinan dari sisi pengeluaran dan harga. Rendahnya pengeluaran keluarga miskin akibat dari ketidakmampuan mereka untuk memperoleh pendapatan yang layak. Peningkatan pendapatan dari pekerjaan yang mereka tekuni, meningkatkan produktivitas kerja, mendorong aktivitas padat kerja adalah solusi yang tepat untuk atasi kemiskinan (Sugema 2006).
Juga penting untuk disikapi secara kritis adalah cara pengukuran tingkat kemiskinan itu sendiri. Pengukuran kemiskinan sebelum krisis terlalu banyak bersandar pada kemiskinan pendapatan berdasarkan indikator konsumsi. Belum banyak memberikan perhatian pada konsep Sen (2000) tentang kemiskinan non-pendapatan. Sen mengatakan bahwa poverty as capability deprivation. Kemiskinan sebagai kehilangan/ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti kesehatan, perumahan, pendidikan dan pangan. Dimensi kemiskinan Sen terfokus pada non-income poverty, bukan kemiskinan pengeluaran.
Tingkat kemiskinan itu tidak sensitif terhadap harga maupun inflasi. Atas dasar inilah kemudian UNDP merancang kemiskinan manusia, bukan kemiskinan pendapatan. UNDP telah membuat indek tentang itu, yang disebut Human Development Index. Ini seharusnya menjadi acuan kita. Laporan tentang kemiskinan manusia telah dilakukan di Indonesia dengan bantuan UNDP sejak beberapa tahun terakhir. Pada 2004 misalnya, dilaporkan tentang Ekonomi dari Demokrasi: Membiayai Pembangunan Manusia, diterbitkan oleh BPS, Bappenas dan UNDP.
Dengan konsep ini Dhanani dan Islam (2000) misalnya, menghitung kemiskinan manusia di Indonesia sebesar 25%, bandingkan dengan kemiskinan pendapatan BPS hanya 11% pada 1996. Sayang, konsep kemiskinan manusia kurang dipakai sebagai acuan dalam penyusunan program pembangunan daerah maupun nasional. Sehingga Indonesia amat terkebelakang di antara negara ASEAN dalam menyediakan dana untuk kesehatan yang terkait dengan harapan hidup, kematian bayi, akses terhadap air minum yang bersih, juga dana untuk pendidikan.
Oleh karena itu, kalau konsep kemiskinan manusia yang dipakai, maka harga beras atau pangan tidaklah sensitif sebagai penyebab kemiskinan. Capability poverty terkait dengan kemiskinan struktural dan kronis. Itu hanya mungkin dipecahkan oleh pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, pertumbuhan yang pro-poor, serta adanya intervensi pemerintah yang terarah ke orang miskin.
Impor Beras dari AS tidak Penting?
Bank Dunia (2007) juga mengatakan bahwa ekspor beras AS berpengaruh kecil ke Asia, tentunya juga ke Indonesia. Ekspor beras AS banyak ditujukan ke Amerika Latin. Kalaupun diekspor ke Asia, jenis berasnya berbeda, sehingga harga pasar jenis itu tidak terkait sama sekali (almost completely disconnected) dengan beras lokal. Ini untuk membuktikan bahwa Indonesia tidak perlu kuatir dengan beras yang penuh subsidi berasal dari AS tidak akan berpengaruh besar ke pasar beras dalam negeri.
Namun, data memperlihatkan bahwa impor beras Indonesia dari AS cukup tinggi diantara negara maju yang mengekspor beras ke Indonesia. Impor beras dari AS meningkat di era liberalisasi dan era tarif. Pada 1996, hanya 9 ribu ton, meningkat menjadi 75 ribu ton pada 1999. Pada 2001 dan 2003, adalah tahun-tahun tertinggi impor beras dari AS yaitu mencapai masing-masing 178 ribu dan 108 ribu ton, terbesar selama 10 tahun terakhir.
Setelah Indonesia menerapkan batasan impor beras sejak 2004, impor beras dari AS menurun drastis, hanya 2 ribu ton pada 2005 (Tabel 2). AS berperan penting dalam impor beras ke Indonesia. Hampir separoh impor beras ke Indonesia yang datang dari negara maju berasal dari AS. Beras dari AS yang murah harganya, dipakai oleh para pedagang untuk dicampur (oplos) dengan beras lokal, sehingga menghasilkan jenis beras baru dengan harga yang lebih murah. Atau itu telah memperbesar stok Bulog, sehingga berkurang pula kemampuannya untuk menyerap pengadaan beras/gabah dalam negeri.
Tabel l 2. Impor Beras Indonesia dari Negara Maju dan AS: 1996-2005 (MT) | |||
Tahun | USA | Negara Maju Lain | Total Negara Maju |
1996 | 9,031 | 6,980 | 16,011 |
1997 | 0 | 12,352 | 12,352 |
1998 | 22,072 | 17,756 | 39,828 |
1999 | 74,956 | 385,725 | 460,681 |
2000 | 49,409 | 46,975 | 96,384 |
2001 | 177,889 | 1,522 | 179,411 |
2002 | 13,393 | 33,158 | 46,551 |
2003 | 107,608 | 25,231 | 132,839 |
2004 | 16,767 | 7,327 | 24,094 |
2005 | 2,184 | 9,081 | 11,266 |
Rataan: Jumlah (MT) | 47,331 | 54,611 | 101,942 |
Persen (%) | 48 | 52 | 100 |
Sumber: Data dasar berasal dari data impor beras bulanan BPS
Impor itu dalam bentuk food aid melalui WFP, program PL480 dengan kredit lunak dan jangka panjang. Kredit lunak dan jangka panjang sesungguhnya juga merugikan pemerintah Indonesia, karena Indonesia harus membayar harga beras yang jauh lebih mahal dari harga beras di luar program. Ini sering dikeluhkan oleh berbagai penjabat di berbagai depertemen, seperti Departemen Keuangan, Bappenas. AS “memaksa” agar Indonesia mau menerima program PL480. Apabila tidak berhasil meyakinkan Bulog misalnya, mereka akan ke departemen lain, atau ke penjabat tertinggi seperti Presiden atau Wakil Presiden. Apabila telah disetujui, selanjutnya yang memutuskan kedatangan beras itu adalah AS. Umumnya didatangkan pada musim panen raya. Itu telah berpengaruh negatif terhadap tingkat harga beras/gabah di dalam negeri. Pemerintah tidak berdaya untuk itu.
AS tentu mampu menjual beras dengan harga murah ke Asia. AS melalui Farm Bill 2002 misalnya memberikan subsidi terhadap 20 komoditas petanian. Namun, subsidi terbesar ditujukan ke 5 komoditas utama yaitu beras, kapas, gandum, jagung and kedelai (IATP 2007b). Inilah yang menyebabkan mengapa sejumlah negara berkembang sulit bersaing dan terpuruk, seperti petani jagung Meksiko, petani kapas di Afrika ( Husein Sawit, 2007).
AS mensubsidi sejumlah komoditas pangan, itu banyak kaitannya dengan kepentingan korporasi raksasa. Korporasi AS itu merambah dunia, seperti Cargill (beroperasi di 63 negara), Mosanto (61 negara), Tyson Foods (80 negara) dan Archer Danniels Midland yang beroperasi di Amerika Latin, Negara Pasifik, Afrika, Kanada, Eropa.
Hasil penelitian IATP (2007b) menyebutkan bahwa AS melalui lembaga WTO dan Bank Dunia memaksa negara berkembang untuk menurunkan tariff dan membuka pasar, sehingga memuluskan MNCs milik AS untuk melakukan kegiatan bisnis pangan secara global. AS tentu ngiler melihat potensi pasar di sejumlah negara Asia, seperti China, India dan Indonesia. Disana banyak penduduk yang memerlukan pangan, permintaan berbagai jenis pangan yang terus meningkat seiring dengan kemajuan ekonomi. Itu yang mereka ingin rebut.
Penutup
Pandangan Bank Dunia harus disikapi secara kritis. Yang merasakan akibat dari implementasi saran mereka yang bias itu adalah bangsa kita, petani kita, masyarakat kita. Mereka datang kemari silih berganti ahlinya, tetapi itu sekedar melaksanakan pesan sponsor. Kita telah terperangkap dengan hutang luar negeri dan SDA milik bangsa ini yang dikapling dan dikuasai bangsa asing. Kita semakin sulit keluar dari kemiskinan dan kepapaan, padahal kita berada di negara yang kaya.
Sayang para pengambilan keputusan, banyak diantara para birokrat kurang memahami politik kurang terpuji di belakang lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia dan IMF. Dalam tataran perundingan multilateral misalnya, mereka juga jarang memihak negera berkembang, mereka jelas memihak negara kaya dan korporasi internasional (MNCs). Itulah yang harus disikapi dangan bijaksana dan hati-hati.
Daftar Bacaan
Albert, H (2004), “ The US Farm Bill and Cotton Cultivation: Is the WTO undermining Rural Development?”, Agriculture and Rural Development, 11 (2)
BPS, Bappenas, UNDP (2004), Ekonomi dari Demokrasi: Membiayai Pembangunan Manusia Indonesia, UNDP: Jakarta
Dillon, HS, M.H. Sawit, P.Simatupang dan S.R. Tabor (1999),”Rice Policy: A Framework for the Next Millennium”, Report for Internal Review Only for Bulog (November 1999)
Dhanani, S dan I. Islam (2000), “Poverty, Inequality and Social Protection: lessons from the Indonesian crisis”, Working Paper: 00/01, UNSFIR, UNDP
Husein Sawit, M. (2007), Liberalisasi Pangan: Aksi dan Reaksi dalam Putaran Doha WTO, Lembaga Penerbit FE Univ. Indonesia (akan terbit)
IATP (2007a), “A Fair Farm Bill for the World”, a series of papers on the 2007 US Farm Bill, Institute for Agriculture and Trade Policy (IATP): Minnesota
IATP (2007b), “ A Fair Farm Bill for America”, a series of papers on the 2007 US Farm Bill, Institute for Agriculture and Trade Policy (IATP): Minnesota
Perkins, J (2004), Confessions of an Economic Hit Man, Penguin Books Ltd: London
Sen, A. (2000), Development as Freedom, Oxford University Press: New Delhi
Sugema, I (2006), “Inflasi, Kemiskinan, dan Beras”, Kompas, 23 November 2006
Sumaryanto, M. Siregar and Wahida M(2002), “Socio Economic Analysis of
Farm Household in Irrigated Area of Brantas River Basin”, Research report as a part of the study Irrigation Investment, Fiscal Policy, and Water Resource
Allocation in Indonesia and Vietnam , collaboration of IFPRI-CASERD-Kimpraswil-
Jasa Tirta.
World Bank (2007), “Issues in Indonesian Rice Policy”, draft March 2007
Oleh: Dr. Ir. M. Husein Sawit
SIAPA LEBIH MERUSAK LINGKUNGAN: ORANG MISKIN ATAU ORANG KAYA?
The greatest threat to the equilibrium of the environment comes from the way the economy is organized... ever increasing growth and accumulation (Ravaioli, 1995: 4)
-
Jika hutan kita menjadi gundul atau terbakar, sehingga lingkungan hidup kita rusak, siapa biang keladinya? Penduduk miskin di hutan-hutan dan sekitar hutan menebang hutan negara untuk memperoleh penghasilan untuk makan. Tetapi kayu-kayu yang diperolehnya ditampung calo-calo untuk dijual, dan kemudian dijual lagi untuk ekspor, yang semuanya “demi keuntungan”. Siapa yang paling bersalah dalam proses perusakan lingkungan ini? Yang jelas tidak adil adalah kalau yang disalahkan hanya orang-orang miskin saja, sedangkan orang-orang kaya adalah “pahlawan pembangunan”.
-
Apabila dikatakan penduduk miskin terbiasa ... “membuang kotoran manusia secara sembarangan yang akan berakibat pada terjangkitnya diare ...” atau “penduduk miskin hanya menekankan pada upaya pemenuhan kebutuhan dasar untuk bertahan hidup, dan mereka cenderung mengabaikan pemeliharaan lingkungan sekitar”, kiranya pernyataan ini juga tidak adil. Pemenuhan kebutuhan pokok penduduk miskin bukan masalah “hanya”, tetapi “mutlak” harus dipenuhi untuk hidup. Penduduk miskin tidak memperhatikan lingkungan hidup sekitarnya bukanlah karena mereka tidak peduli, tetapi karena mereka melakukannya dengan terpaksa.
-
Agar adil kita harus mengakui bahwa kerusakan lingkungan khususnya hutan, disebabkan para pemodal yang haus keuntungan, “memesan” kayu dalam jumlah besar sebagai bahan baku industri yang memang permintaannya sangat besar pula. Akumulasi keuntungan dan kekayaan yang tidak mengenal batas harus dianggap sebagai penyebab utama kerusakan/pengrusakan hutan, bukan karena orang-orang miskin banyak yang merusak hutan. Maka untuk menjamin terjadinya pembangunan yang berkelanjutan kita harus menghentikan keserakahan orang-orang kaya. Adalah sangat keliru ilmu ekonomi justru memuja “keserakahan”.
-
Perkembangan pedagang kaki lima (PKL) yang tumbuh menjamur dimana-mana, yang dianggap merusak lingkungan karena mengotori jalan dan mengganggu ketertiban, juga tidak mungkin ditimpakan kesalahannya pada PKL karena pekerjaan itulah satu-satunya “mata pencaharian” yang dapat dilakukan dalam kondisi kepepet. Ia menggunakan modal sendiri dengan resiko usaha ditanggung sendiri, tidak ada subsidi apapun dar pemerintah, dan memang ada pembeli terhadap barang/jasa yang ditawarkannya. Jadi dalam hal ini lingkungan yang rusak harus diselamatkan melalui upaya-upaya “pencegahan” munculnya PKL, bukan dengan “menggusurnya” setelah berkembang. PKL bukan “masalah” tetapi ”pemecahan” masalah kemiskinan.
- Kesimpulan kita, pendekatan terhadap masalah “pengurangan kemiskinan dan pengelolaan lingkungan” atau sebaliknya terhadap “pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan dan strategi penanggulangan kemiskinan” selama ini kiranya salah dan tidak adil, karena melihat kemiskinan sebagai fakta tanpa mempelajari sumber-sumber dan sebab-sebab kemiskinan itu. Akan lebih baik dan lebih adil jika para peneliti memberi perhatian lebih besar pada sistem ekonomi yang bersifat “serakah” dalam eksploitasi SDA, yaitu sistem ekonomi kapitalis liberal yang berkembang di Barat, dan merajalela sejak jaman penjajahan sampai era globalisasi masa kini. Sistem ekonomi yang tepat bagi Indonesia adalah sistem ekonomi pasar yang populis dan mengacu pada ideologi Pancasila dengan lima cirinya sebagai berikut:
(1) Roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral;
(2) Ada kehendak kuat warga masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial yaitu tidak membiarkan terjadinya dan berkembangnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial;
(3) Semangat nasionalisme ekonomi; dalam era globalisasi makin jelas adanya urgensi terwujudnya perekonomian nasional yang kuat, tangguh, dan mandiri;
(4) Demokrasi Ekonomi berdasar kerakyatan dan kekeluargaan; koperasi dan usaha-usaha kooperatif menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat;
(5) Keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil, antara perencanaan nasional dengan desentralisasi ekonomi dan otonomi yang luas, bebas, dan bertanggung jawab, menuju pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
6 Oktober 2004
Oleh: Prof. Dr. Mubyarto