Bumi dilanda keterperangahan, keterpanaan, dan keterdiaman massal, meresapi kenyataan bahwa kerasnya pesan menolak perang atas nama kemanusiaan, politik, ekonomi, atau agama yang dikirim seluruh dunia kepada AS dan sekutunya, lumer bak lelehan es krim. Meski gelombang protes telah dan terus mengalir secara spektakuler dari seluruh penjuru dunia, invasi ke Irak tetap terjadi. Lonceng kematian bagi humanisme?
Judul ini diadopsi dari salah satu tema diskusi Komunitas Bambu akhir September 2000. Diskusi dibawakan oleh Hendra Pasuhuk, jurnalis Deutsche Welle, memaparkan situasi terakhir ketegangan filsafat di Jerman saat itu akibat kontroversi pemikiran Peter Sloterdijk saat menuduh humanisme gagal membawa perbaikan pada peradaban manusia.
Tesis Sloterdijk mempunyai makna yang amat penting untuk dikaji lagi terutama dalam upaya memaknai konflik global baru-baru ini akibat agresi militer AS dan sekutunya ke Irak, tentunya dari sudut pandang kemanusiaan.
KERIBUTAN dimulai saat Sloterdijk membawakan papernya Regeln für den Menschenpark. Ein Antwortschreiben zum Brief über den Humanismus (Aturan untuk Kebun Manusia. Sebuah jawaban atas Surat tentang Humanisme), dalam simposium filsafat internasional di Bavaria yang bertema: Exodus from Being, Philosophy after Heidegger, Juli 1999.
Menurut profesor filsafat dan aestetik dari Karlsruhe, Jerman, ini, filsafat sejauh ini pasif mengamati perilaku sainstek. Padahal, aktivitas sainstek telah menjarah domain konflik etika serius yang bahkan belum pernah tuntas dikerjakan filsafat. Sloterdijk menggugat gagasan humanisme yang ada kini dan konsep-konsep "mendidik manusia" yang dilahirkan karena dianggap tak mampu menjawab persoalan kemanusiaan di masa depan.
Ia mengusulkan agar manusia segera menyusun aturan orientasi etika baru sebagai respons atas perkembangan teknologi rekayasa genetika. Aturan ini diarahkan sebagai pedoman teknologi eugenik (teknik pemilihan gen-gen sempurna) yang bakal menghasilkan populasi manusia yang lebih beradab. Bila selama ini otoritas pembentukan manusia dipegang oleh kultur, sejalan dengan aturan-aturan seleksi dan kombinasi manusia melalui interaksi antarkelas, kasta, perkawinan, dan sebagainya, kini kita harus menerima kenyataan bahwa kemajuan bioteknologi telah membuka peluang lahirnya model aturan dan kombinasi yang baru. Strategi ini dianggap jauh lebih baik dan bertanggung jawab karena manusia bisa aktif mengendalikan masa depan dan memastikan peradaban berkembang ke arah yang lebih baik.
Sloterdijk jelas provokatif. Tesisnya tak cuma menohok kegagalan humanisme itu sendiri, tetapi juga mengoyak luka lama bangsa Jerman karena memakai istilah seperti: Selektion (seleksi), Menschenzähmung (pembentukan manusia), Menschenzucht (peternakan manusia), dan Antropotechnik (rekayasa manusia). Dalam kaidah bahasa Jerman, kontemporer istilah-istilah itu belakangan tak digunakan karena membawa kenangan buruk saat rezim Nazi mencoba membuat manusia Aria sempurna dan aktivitas Dr Josef Mengele di kamp pembantaian Auschwitz. Serunya lagi, Sloterdijk membacakan papernya dalam simposium yang disponsori komunitas Yahudi!
Terang saja kecaman segera berdatangan. Kalangan penjaga moral seperti agamawan mengecam ide-ide rekayasa manusia. Sementara komunitas filsuf sayap kiri dari mazhab Frankfurt dimotori Jurgen Habermas membantah kegagalan humanisme dan bereaksi keras dengan menyebut koleganya ini sebagai "fasis".
DI luar hingar-bingar wacana itu, ada pesan signifikan dari Sloterdijk; apakah benar manusia mampu mengendalikan peradaban agar berkembang ke arah yang lebih baik? Era modernitas, yang merupakan keniscayaan bagi humanisme, ternyata malah menandai kembalinya peradaban barbar, di mana angka perilaku kekerasan dan kekejaman manusia terus bertambah. Modernitas juga tidak berbanding lurus dengan peningkatan atau keberlanjutan kualitas kemanusiaan peradaban manusia. Kemiskinan tetap menjadi fenomena universal, ditambah meningkatnya suhu ketegangan sosial, konflik, dan menjamurnya kecurigaan di tingkat lokal, regional, sampai internasional.
Premis dasar Sloterdijk ini kembali terasa relevan saat kita menyaksikan AS dan sekutunya menginvasi Irak tanpa mandat PBB, sebuah otoritas hukum internasional tertinggi yang eksistensinya merupakan simbol peak experience humanisme. Berbagai upaya diplomatik dan unjuk rasa tak mampu mencegah invasi itu. Kenyataan ini selain melukai rasa kemanusiaan, juga menindas prinsip- prinsip dasar humanisme yang mempercayai etika dan moralitas sebagai basis segala hubungan antarmanusia di Bumi. Padahal, semangat inilah yang mendorong manusia menyusun deklarasi HAM sebagai spirit PBB. Patutlah bila kini kita mengevaluasi ulang berapa besar komitmen kita terhadap kemanusiaan, dan apakah humanisme, sebagai ideologi yang mengadvokasinya, perlu direvisi ulang.
SEPERTI halnya agama, humanisme memiliki kekuatan karena bersifat utopis, yakin bahwa situasi ideal dapat dicapai berkat sifat-sifat baik manusia. Karenanya, filsafat humanisme mengkritik Freud yang dianggap mengabaikan potensi-potensi positif dari manusia, seperti kebaikan, kasih sayang, berbagi, dan kedermawanan. Padahal, gara-gara terlalu percaya diri, humanisme lupa bahwa manusia punya potensi negatif yang acapkali lebih dominan daripada potensi positifnya. Terlelap dalam utopia berkepanjangan, ia membiarkan manusia memerkosa prinsip-prinsipnya dengan leluasa.
Invasi AS ke Irak ini merefleksikan seriusnya konflik yang diderita humanisme. Dalam Manifesto I-nya di tahun 1933, semangat gerakan humanisme adalah "satu dunia" (One World) di mana, "semua manusia bersaudara" (Alle Menschen werden Brüder). Humanisme ditujukan untuk mencapai tatanan masyarakat bebas dan universal, di mana manusia berpartisipasi secara cerdas dan sukarela untuk mencapai kebaikan bersama. Ketika kemudian "universal" menjadi istilah yang kabur mengingat komposisi geopolitik dunia kala itu amat tegang, empat puluh tahun kemudian Manifesto Humanisme II memperjelas arti "universal" sebagai penolakan kategorisasi manusia berdasar kebangsaannya.
Sayang, tatanan dunia justru terbangun oleh kategorisasi-kategorisasi yang saling bersaing secara tidak imbang, seperti ekonomi-politik, kebangsaan, fundamentalisme, atau agama, yang lalu berimbas pada mekanisme distribusi akses kebutuhan manusia. Mengingat humanisme lahir dari kalangan elite intelektual, kelas menengah, mapan, dan liberal, ada masalah saat mendefinisikan universalitas cara pandang dalam memahami manusia dan nilai-nilai hidupnya. Sebagian berpendapat globalisme dan kosmopolitanisme adalah baik dan tepat, sebagian lagi menganggap ide-ide global justru menjadi penghalang mencapai makna hidup yang tertinggi.
Bukannya mencoba menyelesaikan masalah ini, langsung ke akar, humanisme malah sering membiarkan diri terjebak dalam situasi dilematis seperti digambarkan Paul Tillich dalam karya Love, Power, and Justice; haruskah cinta yang kita rasakan pada seseorang yang telah melakukan tindak kejahatan membebaskan kita dari kewajiban menegakkan keadilan?
Tokoh humanis progresif AS, Carleton Coon, awalnya menentang aksi militer AS ke Irak, namun saat keputusan perang dijatuhkan, ia tak punya pilihan lain selain mendukung pemerintahnya dan tentara yang berjuang atas nama negerinya. Menurut dia, yang perlu dikerjakan adalah memastikan pembangunan kembali Irak dalam kerangka kemanusiaan (persis seperti bunyi pamflet kampanye perang AS).
Jepang juga memanfaatkan "dukungan kemanusiaan" sebagai ujud dukungannya terhadap perilaku AS karena konstitusi Jepang melarangnya terlibat secara militer dalam pertikaian negara lain. Kedua ilustrasi ini menggambarkan, humanisme kedodoran dalam mempertahankan visi gerakannya sehingga mudah di-abuse oleh kepentingan minoritas-dominan seperti nasionalisme atau ekonomi-politik.
Selain itu, sama seperti filsafat, humanisme juga keteteran menghadapi sainstek. Ia lupa bahwa bagi manusia, teknologi adalah representasi kesuksesan. Wajar bila teknologi turut berpartisipasi dalam merajut konflik antarbudaya dan kepentingan ekonomi. Sejarah membuktikan, manusia kini tak lagi menunggu saja sesuatu terjadi, ia akan dan mampu membuatnya terjadi. Inilah yang digambarkan Martin Heidegger sebagai karakteristik relasi antara teknologi produksi dan kepentingan ekonomi satu sisi, dan antara etnoteknologi dan perang, di sisi lain. Perang dipandang penting oleh kalangan bisnis dan pimpinan politik-militer sebagai ajang menjual diri dan meraup keuntungan di tengah persaingan dengan para kompetitor dan musuhnya, tak peduli ketika karakter psikologis dunia lantas didominasi asumsi-asumsi paranoid yang bakal terus termanifestasi dalam aneka bentuk kekerasan.
Buat mereka, ini bukan masalah karena justru berarti keuntungan. Tetapi, bagaimana dengan manusia lainnya yang cuma bisa jadi penonton? Apakah kita harus membesarkan anak dalam atmosfer kebencian dan kekerasan lengkap dengan senjatanya dan membiarkan humanisme (baca: PBB) jadi dekor saja dalam adegan peperangan yang kita saksikan live dari televisi. Inilah kegelisahan yang dirasakan Sloterdijk saat sadar bahwa manusia bakal sulit lepas dari jerat konspirasi teknologi-bisnis-kekuasaan.
Dari sini gerakan humanisme dunia masa kini dan mendatang jadi makin penting. Logika humanismenya harus dibenahi dan tidak membiarkan pelanggaran atas prinsipnya diklaim sebagai suatu keharusan ekonomi-politik. Betapapun pesimisnya, langkah ke sana tetap harus dilakukan untuk membangun kembali kepercayaan diri bahwa manusia mampu menyiapkan masa depan terbaik buat generasi penerus. Bila tidak, mungkin tesis Sloterdijk menjadi satu-satunya alternatif yang masuk akal.
Erita Narhetali Direktur Lembaga Studi Anak Marjinal (LSAM)
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0303/27/opini/215166.htm