Terorisme dalam bentuk apa pun selalu berkaitan dengan rasa takut yang ekstrem dalam masyarakat karena coraknya yang ekstranormal: melebihi batas-batas pelanggaran yang dapat diterima secara sosial.
Rasa takut itu akan bergejolak pada masyarakat yang memiliki rentang mulai dari berpihak, netral, sampai menentang terorisme. Para teroris memilih bermain pada lapangan yang paling menakutkan manusia: kematian.
Meski terorisme itu sendiri bisa dilakukan dalam banyak cara, tragedi bom Bali II kian mengonotasikan terorisme dengan peledakan bom. Berbagai asumsi yang dikembangkan sering kali bermuara pada anggapan bahwa kelompok teroris ingin menunjukkan protes, perjuangan ideologi, dan eksistensi kelompok.
Pertanyaannya: mengapa terorisme menarik dijadikan instrumen perjuangan ideologi? Mengapa mereka memilih strategi perlawanan dengan bom? Dan, yang sering kali terlupakan, mengapa mereka mampu merekrut pengikut-pengikut loyal yang notabene adalah kaum muda? Pertanyaan-pertanyaan ini menarik dilihat dengan kacamata psikologi politik.
Rasionalitas terorisme
Tindakan teroris bukanlah tindakan irasional, melainkan rasional. Kerasionalan kelompok ini terlihat jelas dalam idealisme yang diperjuangkan. Saking rasionalnya, pemerintah menyerukan pencarian otak di balik serangan, bukan binatang di balik serangan. Aksi mereka memang sangat emosional, tetapi itu perlu dilihat sebagai frustrasi yang muncul dalam idealisme mereka.
Dalam setiap aksinya, kelompok teroris selalu mempropagandakan perjuangan yang belum selesai atau aspirasi yang belum tersalurkan. Penyaluran itu dapat dipetakan dalam dua wilayah: nasional dan internasional. Isu terorisme internasional yang dikumandangkan Amerika Serikat telah menjadi bagian dari sikap masyarakat internasional terhadap terorisme.
Karena itu, kelompok teroris pun bermain pada tataran yang sama. Sasaran utama mereka adalah memengaruhi kebijakan-kebijakan politis yang berskala internasional. Aksinya adalah membom Bali sebagai daerah pariwisata yang ramai dikunjungi wisatawan mancanegara.
Terorisme sebagai kelompok
Terorisme dapat dilakukan individu atau kelompok. Jika terorisme dilakukan kelompok, tidak perlu disangsikan bahwa tindakan mereka dilakukan secara purposif dan sistematis. Sebagai kelompok, terorisme mensyaratkan adanya sistem organisatoris dan hierarkis yang memiliki pemimpin dan yang terpenting adalah pengikut.
Pemimpin kelompok teroris sangat bervariasi, mulai dari sangat ekstrover sampai pada sangat neurotis. Pemimpin yang ekstrover biasanya lebih tenang menjalankan aksinya karena toleransinya yang lebih tinggi terhadap ketegangan. Pemimpin tipe ini adalah pencari stres yang menjadikan kemarahan pemerintah dan publik sebagai sesuatu yang menyenangkan. Karena itu, perangkat secanggih apa pun bukanlah jaminan untuk meniadakan kegiatan mereka.
Lebih penting daripada itu adalah kenyataan bahwa pemimpin organisasi hanya bisa menjalankan idealismenya lewat ketersediaan dana dan perekrutan tenaga kerja yang andal. Pengikut terorisme dapat dibagi menjadi dua kelompok: pengikut aktif dan pengikut pasif.
Pengikut aktif bertugas dalam propaganda, hubungan publik, pemalsuan identitas, dan logistik; sementara pengikut pasif berada di luar kelompok dan berperan dalam perekrutan anggota. Karena itu, jalurnya menjadi tak sesempit yang kita duga.
Dalam kelompok mana saja, selalu ada upaya untuk menciptakan kohesi, kepercayaan, dan konfirmitas kelompok. Khusus pada kelompok teroris, pelaksanaannya bisa dengan menyuarakan perasaan senasib dan solidaritas kematian anggota kelompok.
Perasaan senasib berpengaruh besar bagi kepercayaan dalam kelompok; sementara kematian anggota dapat memperkuat kohesi kelompok karena reaksi emosional terhadap anggota yang hilang. Lebih jauh, rasa kehilangan ini akan meningkatkan konformitas kelompok. Dalam psikologi, ini disebut introyeksi terhadap obyek yang hilang.
Efek krisis perkembangan
Setiap psikolog akan sepakat bahwa tidak ada kepribadian teroris karena terorisme itu hanyalah instrumen untuk mencapai tujuan ideologis. Peran psikologi hanya berkutat pada kajian alasan-alasan psikologis yang mendorong seseorang ke arah terorisme.
Cermatilah pelaku-pelaku bom bunuh diri itu! Mereka adalah pemuda-pemuda yang masih remaja atau dewasa awal. Ada apa dengan mereka? Mengapa mereka memisahkan diri dari masyarakat dan masuk ke dalam subkultur radikal seperti itu?
Teori psikososial Erikson dapat membantu kita memahami perilaku â€gila†ini. Pencarian jati diri adalah permasalahan sentral dalam hidup manusia. Mencari jati diri berarti berusaha menemukan diri (siapa sih aku ini?).
Menurut Erikson, perkembangan jati diri manusia berjalan melalui delapan tahap yang meliputi: kepercayaan lawan ketidakpercayaan (0-1 tahun), otonomi lawan keraguan (2-3 tahun), inisiatif lawan rasa bersalah (4-5 tahun), kerajinan lawan rasa rendah diri (6-11 tahun), identitas lawan kebingungan peran (masa remaja), keintiman lawan isolasi (masa dewasa awal), generativitas lawan stagnasi (masa dewasa madya), integritas lawan keputusasaan (lanjut usia).
Istilah lawan menunjukkan bahwa setiap perkembangan selalu disertai krisis yang harus dihadapi. Ketika menjalani tahap tertentu, setiap orang akan mengalami konflik yang, jika tidak diselesaikan, akan menghambat perkembangannya.
Bentuk ekstrem kegagalan dalam membentuk jati diri adalah munculnya jati diri negatif, yaitu gambaran diri yang bertolak belakang dengan nilai-nilai yang diajarkan masyarakat. Dengan menerima jati diri negatif, seseorang berani melakukan apa yang dilarang masyarakat.
Namun, bagaimana dengan rasa bersalah mereka? Sebenarnya mereka menyadari sepenuh hati penyimpangan itu, tetapi mereka memilih merepresinya atau menekannya ke alam bawah sadar. Kesadaran akan penyimpangan itu terobati tatkala mereka bisa menemukan orang-orang lain yang senasib.
Setelah melebur dalam kebersamaan, ideologi kelompok bisa disuntikkan kepada mereka. Jadi, para teroris bukanlah robot-robot yang tidak berperikemanusiaan, melainkan manusia yang merepresi perikemanusiaannya.
Produk keluarga
Tampaknya kajian biografis para teroris di Indonesia perlu dilakukan untuk memahami dinamika psikologis yang melatarbelakangi tindakan mereka. Mereka sudah menampilkan diri sebagai pemuda-pemuda yang nekat dan tidak lagi mencintai kehidupan sehingga apa yang oleh Freud disebut thanatos (dorongan untuk mati) menjadi dominan.
Para teroris bukanlah produk agama, melainkan produk keluarga. Semua agama mengajarkan kebaikan. Lalu, dari mana datangnya? Schmidtchen berpendapat banyak teroris berasal dari keluarga-keluarga yang menekankan pencapaian prestasi yang gemilang bagi anak-anaknya.
Jika jati diri positif mustahil dicapai, anak-anak lebih suka diberi label â€burukâ€. Jika toh keluarga masih bisa menekan dan menyudutkannya, anak akan memilih untuk menjadi yang terburuk. Dengan begitu, dia tinggal menunggu jemputan orang lain yang senasib dengannya untuk menjadi bagian dalam subkultur radikal.
Akhirnya, sambil menantikan hasil kerja intelijen dalam mengungkap pelaku terorisme, kita secara aktif dapat mengupayakan pencegahan. Efek psikologis yang sekarang muncul bukan hanya bahaya fisik yang menakutkan, tetapi juga bahaya dari gambaran mental yang dibuat masyarakat tentang terorisme.
Inilah dampak psikologis jangka panjang yang parah bagi masyarakat sekaligus menjadi kesenangan bagi kelompok teroris. Betapa tidak, masyarakat kita mulai mengidap kecemasan, disorientasi hidup, dan ketidakberdayaan yang tercermin dalam kondisi paranoid tatkala bepergian. Sudahkah masyarakat kita berkembang menjadi insane society atau mungkin society yang semakin insane? Mari membendungnya dengan mempropagandakan gerakan kembali pada cinta dan perhatian pada anak-anak yang tumbuh dan berkembang dalam keluarga.
YF LA KAHIJA Pengajar pada Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro, Semarang
Sumber: Kompas Cyber Media