Kegagalan reformasi membawakan perubahan, terutama dalam aspek kesejahteraan dan keadilan sosial, telah memberikan sebuah pertanyaan besar soal demokrasi. Kenapa demokrasi? Karena demokrasi telah menjadi antitesa baru atas pembangunan ekonomi Orde Baru yang bersandar pada sistem politik otoritarian. 32 tahun pembangunan ekonomi ala orde baru tidak memberikan trickle down effect, malah sebaliknya, memperbesar jurang pemisah antara mayoritas rakyat dengan segelintir elit dan kaum kaya yang bertengger di Cendana. Akar persoalannya adalah minimnya partisipasi rakyat dalam pembangunan. Mansour Fakih (1999) menyatakan bahwa bentuk kediktatoran militeristik ala orde baru telah menghilangkan peranan dan partisipasi rakyat dalam pembangunan. Demokrasi dianggap telah menjadi prasyarat bagi lahirnya partisipasi rakyat dalam pembangunan.
10 tahun reformasi berjalan. Kesejahteraan dan keadilan sosial yang diharapkan tidak kunjung datang. letak kegagalan ini kemudian dimanfaatkan kelompok status quo yang menuduh bahwa akar dari penyebab semua persoalan ini adalah ketidakadaan stabilitas politik dan ekonomi. Mereka menuduh demokrasilah yang sudah menjadi biang kerok dan de-stabilisasi politik dan ekonomi itu. Mereka juga meyakini bahwa prinsip-prinsip demokrasi –kebebasan pers, kebebasan berpendapat, penghargaan terhadap HAM, sipil diatas militer, dan kebebasan berorganisasi— telah menjadi instrument yang melahirkan ketidakstabilan. Ini merupakan ancaman terhadap demokrasi.
Dua Jiwa dalam Demokrasi
Dalam waktu yang sama, demokrasi dipaksa menghadirkan dua keadaan sekaligus, yakni; kebebasan politik dalam artian persamaan dalam mengakses alat-alat politik dan keadilan ekonomi (kesejahteraan). Logikanya sederhana; demokrasi akan melahirkan partisipasi aktif dari seluruh lapisan sosial, dan selanjutnya kebijakan yang dilahirkan akan berpihak kepada semuanya. Dalam bukunya, Poverty and Famines, Amartya Sen menjelaskan hubungan antara kediktatoran dan kemiskinan. Menurutnya, ketiadaan demokrasi yang sering melahirkan ketidakadilan adalah akar dari semua bentuk kemiskinan. Akan tetapi, kenyataan memperlihatkan bahwa beberapa negara yang menganut demokrasi secara bersemangat justru tidak melahirkan kesejahteraan yang merata. Di AS (rujukan demokrasi liberal), 1 orang dari 10 orang atau 36,5 juta jiwa penduduknya dinyatakan miskin (biro Sensus AS, 2007). Di Indonesia, angka kemiskinan malah menghampiri setengah dari populasi (49.5%). Bahkan Lee Kwan Yew—Mantan PM Singapura mengatakan “I believe what a country needs to develop is discipline more than democracy. The exuberance of democracy leads to indiscipline and disorderly conduct, which are inimical to development.”
Tidak ada yang salah dengan teori Amartya Sen ataupun Lee kwan Yew. Keduanya berangkat dari dua substansi berbeda tentang pengertian dan ukuran demokrasi. Amartya berangkat dari jiwa demokrasi yang bersandarkan kebebasan sosial (egalitarian), sedangkan Lee Kwan Yew berangkat dari demokrasi yang bermazhabkan kebebasan individu atau kebebasan sipil. Inilah yang dikatakan oleh Galvano della Volpe sebagai dua jiwa dalam demokrasi. Jiwa yang pertama berhulu pada revolusi borjuis di perancis, sedangkan jiwa yang kedua disuburkan oleh kemunculan sosialisme dalam gerakan pekerja. Perkembangan modern dari dua jiwa demokrasi dimunculkan dalam pengertian antara demokrasi prosedural (demokrasi liberal) dan demokrasi substantif( demokrasi sosial).
Kegagalan Demokrasi di Indonesia
Perkembangan sistem politik Indonesia sangat dipengaruhi oleh kolonialisme. Selain melakukan penjajahan fisik untuk mengeksplotasi kekayaan alam Indonesia, kolonialisme juga telah mencangkokkan sistem politik liberal. Paska kemerdekaan, sistem politik Indonesia tidak banyak berubah. Piranti-piranti dari sistem politik lama masih bertahan bersandingan dengan gejolak revolusi. Indonesia yang baru mengembangkan sistem politik demokrasi, tiba-tiba dihentikan (interupsi) oleh kelahiran rejim ordebaru yang cukup militeristik. Selama orde baru berkuasa, sistem politik dibonzai benar-benar menyingkirkan partisipasi politik rakyat. Rakyat hanya dimobilisasi pada saat pemilu dan protes sosial diharamkan.
Penjatuhan orde baru oleh gerakan mahasiswa sebenarnya mewakili tipe baru dari kelahiran demokrasi baru di Indonesia. Meskipun masih samar, akan tetapi, konsep dan gagasannya patut untuk diacungi jempol. Misalnya, munculnya kosakata-kosakata baru sebagai antitesa terhadap orba; mahakamah rakyat, komite rakyat Indonesia, Dewan Rakyat, ataupun presidium nasional. Sayang, proses kreasi demokrasi tipe baru ini dibajak oleh kelompok reformis palsu. Bagi James petras, pengamat politik Amerika latin, proses pembajakan demokrasi ini dimungkinkan karena elit lama tidak sepenuhnya hancur, tetapi sanggup bertransformasi menjadi kekuatan besar dalam kehidupan bisnis dan politik.
Demokrasi Indonesia sudah terlanjur cacat. Berbagai piranti demokrasi—kelembagaan, reformasi hukum, birokrasi, dan militer—mengalami kemandegan dan ditengah jalan diambil oleh kelompok elit tadi. Jadilah sebuah system politik oligarkhi; dimana segelintir elit mendominasi kehidupan politik dan sumber-sumber ekonomi. Oligarkhi politik cenderung sanggup memapankan diri, karena cara-pandang aktivis gerakan dan kaum demokrat yang mengharamkan memanfaatkan institusi demokrasi liberal, semacam pemilu. Dalam perkembangan kontemporer, dikenal istilah “radikalisasi demokrasi.” Istilah ini merujuk pada tindakan beberapa kelompok kiri di Amerika Latin yang memanfaatkan momentum elektoral untuk memperluas dan mendorongnya semakin menampung partisipasi massa. Wacana ini patut untuk diujikan di Indonesia.
® Rudi Hartono, Peneliti di Lembaga Pembebasan dan Media Ilmu Sosial (LPMIS), pengurus EN LMND, dan pernah kuliah di Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.