Oleh Agus Sunyoto *
Memasuki dekade awal 1960-an, PKI menjadi partai komunis terbesar
ketiga di dunia yang memiliki kesempatan untuk berkuasa. PKI sadar,
untuk mencapai tujuannya itu harus memanfaatkan figur Presiden
Soekarno. Itu sebabnya, PKI berusaha mendukung semua kebijakan
Presiden Soekarno. Dalam upaya mendukung keberhasilan rencananya itu,
PKI mencoba untuk memotivasi suatu kekuatan yang berkaitan erat
dengan
reformasi agraria yakni memperluas kekuatan massa petani yang
dikuasainya tanpa membenturkan partai dari kebijakan Soekarno
(Tornquist,1984: 53).
Di antara sejumlah dukungan PKI kepada kebijakan Soekarno adalah
Nasakomisasi berbagai kekuatan sosial-politik. Dengan terpaksa atau
tidak, berbagai golongan seperti kalangan nasionalis, agama, dan
Angkatan Darat menerima konsep yang disebut Nasakom itu. PKI kemudian
menganggap diri paling berjasa besar kepada Soekarno dalam mewujudkan
cita-cita proklamator itu mempersatukan berbagai unsur ke dalam satu
kesatuan nasional. Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh PKI
setelah
meyakinkan Soekarno akan kesetiaan dan dukungannya, adalah memperluas
kekuatan massa petani dengan memanfaatkan terjadinya reformasi
agraria
(landreform, pen). Dengan melakukan aksi-aksi massa yang bersifat
sepihak, PKI mulai melakukan provokasi yang tujuan utamanya adalah
menguntungkan kebijakan politiknya.
Untuk berhasilnya perjuangan di kalangan kaum tani maka PKI telah
mempergunakan berbagai cara dan taktik, seperti misalnya:
1. Perjuangan untuk merealisasi terlaksananya UUPA dan UUPBH.
2. Agitasi kepada kaum tani untuk melakukan pengganyangan terhadap "7
setan desa" serta menyingkirkan Koramil dan Pembina di Jawa Barat dan
Pepelrada dalam rangka Dwikora yang dianggap sebagai SOB tanpa SOB.
3. Aktif di bidang Hansip serta dalam pengerahan dan latihan
sukarelawan untuk Dwikora.
4. Menuntut dipersenjatainya rakyat tani.
Kesemuanya itu pada hakekatnya ialah untuk melaksanakan serangkaian
usaha yang ditujukan ke arah:
1. Menegakkan kekuasaan politik PKI di desa-desa yang kemudian akan
diteruskan pada desa-desa lainnya dan yang kemudian akan merupakan
suatu kekuatan untuk bisa memaksakan dan merebut secara "parlementer"
kekuasaan di tingkat nasional.
2. Menjadikan desa sebagai pangkalan untuk melakukan perang gerilya:
- Sebagai sumber bahan makanan
- Merupakan sumber prajurit
- Merupakan tempat revolusi mundur jika terpukul di kota
- Merupakan pangkalan untuk menyerang musuh dan merebut kembali
kota-kota yang tadinya terpaksa ditinggalkan.
(Puspen AD, 1965).
Aksi massa yang cukup berbahaya dari manuver politik PKI adalah
usaha-usaha memobilisasi massa untuk melakukan berbagai tindak
kekerasan yang dikenal dengan nama 'aksi sepihak'. Dalam
tindak-tindak
kekerasan yang dinamakan aksi sepihak itu, PKI tidak segan-segan
mempermalukan pejabat pemerintah dan bahkan melakukan
perampasan-perampas an hak milik orang lain yang mereka golongkan
borjuis-feodal. PKI tidak malu mengkapling tanah negara maupun tanah
milik warga masyarakat yang mereka anggap borjuis.
Sejumlah aksi massa PKI yang dimulai pada pertengahan 1961 itu adalah
peristiwa Kendeng Lembu, Genteng, Banyuwangi (13 Juli 1961),
peristiwa
Dampar, Mojang, Jember (15 Juli 1961), peristiwa Rajap, Kalibaru, dan
Dampit (15 Juli 1961), peristiwa Jengkol, Kediri (3 November 1961),
peristiwa GAS di kampung Peneleh, Surabaya (8 November 1962), sampai
peristiwa pembunuhan KH Djufri Marzuqi, dari Larangan, Pamekasan,
Madura (28 Juli 1965)
PERLAWANAN GP ANSOR
Aksi-aksi massa sepihak yang dilakukan oleh PKI mau tidak mau pada
akhirnya menimbulkan keresahan di kalangan warga masyarakat yang
bukan
PKI. Dikatakan meresahkan karena pada umumnya yang menjadi korban
dari
aksi-aksi massa sepihak tersebut adalah anggota PNI, PSI, ex-Masyumi,
NU, dan bahkan organisasi Muhammadiyah. Ironisnya, aksi-aksi massa
sepihak yang dilakukan oleh PKI itu belum pernah mendapat perlawanan
dari anggota partai dan organisasi bersangkutan kecuali dari GP
Ansor,
yang mulai menunjukkan perlawanan memasuki tahun 1964.
Perlawanan anggota GP Ansor sendiri tidak selalu dilatari oleh
persoalan yang dihadapi warga Nahdliyyin berkenaan dengan aksi-aksi
massa sepihak PKI, melainkan dilatari pula oleh permintaan
perlindungan dari warga PNI, ex-Masyumi maupun Muhammadiyah. Di
antara
perlawanan yang pernah dilakukan oleh GP Ansor terhadap aksi-aksi
massa sepihak PKI adalah peristiwa Nongkorejo, Kencong, Kediri di
mana
pihak PKI didukung oleh oknum aparat seperti Jaini (Juru Penerang)
dan
Peltu Gatot, wakil komandan Koramil setempat. Dalam kasus itu, PKI
telah mengkapling dan menanami lahan milik Haji Samur. Haji Samur
kemudian minta bantuan GP Ansor. Terjadi bentrok fisik antara Sukemi
(PKI) dengan Nuriman (Ansor). Sukemi lari dengan tubuh berlumur
darah.
Pengikutnya lari ketakutan.
Pecah pula peristiwa Kerep, Grogol, Kediri. Ceritanya, tanah milik
Haji Amir warga Muhammadiyah oleh PKI dan BTI diklaim sebagai tanah
klobot, padahal itu tanah hak milik. Setelah klaim itu, PKI dan BTI
menanam kacang dan ketela di antara tanaman jagung di lahan Haji
Amir.
Karena merasa tidak berdaya, maka Haji Amir meminta bantuan kepada
Gus
Maksum di pesantren Lirboyo. Puluhan Ansor dari Lirboyo bersenjata
clurit dan parang, menghalau PKI dan BTI dari lahan Haji Amir.
Tawuran massal Ansor dengan Pemuda Rakyat pecah pula di Malang.
Ceritanya, Karim DP (Sekjen PWI) datang ke kota Malang dan dalam
pidatonya mengecam kaum beragama sebagai borjuis-feodal yang harus
diganyang. Mendengar pidato Karim DP itu, para pemuda Ansor langsung
naik ke podium dan langsung menyerang Karim. Para anggota Pemuda
Rakyat membela. Terjadi bentrok fisik. Pemuda Rakyat banyak yang
luka.
KELAHIRAN BANSER
Aksi massa sepihak yang dilakukan oleh PKI pada kenyataannya sangat
meresahkan masyarakat terutama umat Islam. Sebab dalam aksi-aksi itu,
PKI melancarkan slogan-slogan pengganyangan terhadap apa yang mereka
sebut tujuh setan desa. Tujuh setan desa dimaksud adalah tuan tanah,
lintah darat, tengkulak, tukang ijon, kapitalis birokrat, bandit
desa,
dan pengirim zakat (LSIK, 1988:72). Dengan masuknya 'pengirim zakat'
ke dalam kategori tujuh setan desa, jelas umat Islam merasa sangat
terancam. aksi massa sepihak yang dilakukan PKI rupanya makin
meningkat jangkauannya. Artinya, PKI tidak saja mengkapling
tanah-tanah milik negara dan milik tuan tanah melainkan merampas pula
tanah bengkok, tanah milik desa, malah yang meresahkan,
sekolah-sekolah negeri pun akhirnya diklaim sebagai sekolah milik
PKI.
Hal ini terutama terjadi di Blitar. Dengan aksi itu, baik perangkat
desa maupun guru-guru yang ingin terus bekerja harus menjadi anggota
PKI.
Atas dasar aksi sepihak PKI itulah kemudian pengurus Ansor kabupaten
Blitar membentuk sebuah barisan khusus yang bertugas menghadapi aksi
sepihak PKI. Melalui sebuah rapat yang dihadiri oleh pengurus GP
Ansor
seperti Kayubi, Fadhil, Pangat, Romdhon, Danuri, Chudori, Ali Muksin,
H. Badjuri, Atim, Abdurrohim Sidik , diputuskanlah nama Barisan Ansor
Serbaguna disingkat Banser. Pencetus nama Banser adalah Fadhil, yang
diterima aklamasi.
Karena Banser adalah suatu kekuatan paramiliter serba guna yang dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan di masa genting maupun aman, maka
lambang yang disepakati dewasa itu berkaitan dengan keberadaan
Banser.
Lambang awal Banser mencakup tiga gambar yakni cangkul, senapan dan
buku. Menurut Romdhon, tiga gambar itu memiliki makna bahwa seorang
anggota Banser siap melakukan pekerjaan membantu masyarakat yang
membutuhkan (simbol cangkul), siap pula membela agama, bangsa dan
negara (senapan) dan siap pula belajar (buku).
Dalam tempo singkat, setelah Banser Blitar terbentuk, secara berantai
dibentuklah Banser di berbagai daerah. Dan pada 24 April 1964, Banser
dinyatakan sebagai program Ansor secara nasional. Mula-mula, Banser
dilatih oleh anggota Brimob. Kemudian dilatih pula oleh RPKAD,
Raiders
dan batalyon-batalyon yang terdekat. Selain dibina oleh pihak
militer,
Banser secara khusus dibina oleh para kiai dan ulama tarekat dengan
berbagai ilmu kesaktian dan kedigdayaan. Di antara kiai yang terkenal
sebagai pembina spiritual Banser dewasa itu adalah Kiai Abdul Djalil
Mustaqim (Tulungagung) , KH Badrus Sholeh (Purwoasri, Kediri), KH
Machrus Ali dan KH Syafii Marzuki (Lirboyo, kediri), KH Mas Muhadjir
(Sidosermo, Surabaya), KH Djawahiri (Kencong, Kediri), KH Shodiq
(Pagu, Kediri), KH Abdullah Sidiq (Jember).
Hasil kongkret dari pembentukan Banser, perlawanan terhadap aksi
sepihak PKI makin meningkat. Kordinasi-kordinasi yang dilakukan
anggota Banser untuk memobilisasi kekuatan berlangsung sangat cepat
dan rapi. Dalam keadaan seperti itu, mulai sering terjadi
bentrokan-bentrokan fisik antara Banser dengan PKI. Bahkan pada
gilirannya, terjadi serangan-serangan yang dilakukan anggota Banser
terhadap aksi-aksi massa maupun anggota PKI. Demikianlah, pecah
berbagai bentrokan fisik antara Banser dengan PKI di berbagai tempat
seperti: Peristiwa Kanigoro.
13 Januari 1965 tepat pukul 04.30 WIB, sekitar 10.000 orang Pemuda
Rakyat dan BTI melakukan penyerbuan terhadap pondok pesantren
Kanigoro, Kras, Kediri. Alasan mereka melakukan penyerbuan, karena di
pesantren itu sedang diselenggarakan Mental Training Pemuda Pelajar
Indonesia (PII). Pimpinan penyerbu itu adalah Suryadi dan Harmono.
Massa Pemuda Rakyat dan BTI itu menyerbu dengan bersenjatakan golok,
pedang, kelewang, arit, dan pentungan sambil berteriak histeris: -
'Ganyang santri!', 'Ganyang Serban!', 'Ganyang Kapitalis!', 'Ganyang
Masyumi!'.
Para anggota PR dan BTI yang sudah beringas itu kemudian mengumpulkan
kitab-kitab pelajaran agama dan Al-Qur'an. Kemudian semua dimasukkan
ke dalam karung dan diinjak-injak sambil memaki- maki. Pimpinan
pondok, Haji Said Koenan, dan pengasuh pesantren KH Djauhari,
ditangkap dan dianiaya. Para pengurus PII digiring dalam arak-arakan
menuju Polsek setempat. Para anggota PR dan BTI menyatakan, bahwa PII
adalah anak organisasi Masyumi yang sudah dilarang. Jadi PII, menurut
PKI, berusaha melakukan tindak makar dengan mengadakan
training-training politik.
Peristiwa penyerangan PR dan BTI terhadap pesantren Kanigoro, dalam
tempo singkat menyulut kemarahan Banser Kediri. Gus Maksum -- putera
KH Djauhari -- segera melakukan konsolidasi. Siang itu, 13 Januari
1965, delapan truk berisi Banser dari Kediri datang ke Kanigoro.
Markas dan rumah-rumah anggota PKI digrebek. Suryadi dan Harmono,
pimpinan PR dan BTI, ditangkap dan diserahkan ke Polsek.
BANSER VERSUS LEKRA
Bentrok Banser dengan PKI pecah di Prambon. Awal dari bentrok itu
dimulai ketika Ludruk Lekra mementaskan lakon yang menyakiti hati
umat
Islam yakni : 'Gusti Allah dadi manten' (Allah menjadi pengantin).
Pada saat ludruk sedang ramai, tiba- tiba Banser melakukan serangan
mendadak. Ludruk dibubarkan. Para pemain dihajar. Bahkan salah
seorang
pemain yang memerankan raja, saking ketakutan bersembunyi di kebun
dengan pakaian raja.
Bulan Juli 1965, terjadi insiden di Dampit kabupaten Malang.
Ceritanya, di rumah seorang PKI diadakan perhelatan dengan menanggap
ludruk Lekra dengan lakon 'Malaikat kimpoi'. Banser datang dari
berbagai desa sekitar. Pada saat ludruk dipentaskan para anggota
Banser yang menonton di bawah panggung segera melompat ke atas
panggung. Kemudian dengan pisau terhunus, satu demi satu para pemain
itu dicengkeram tubuhnya dan kemudian disobek mulutnya dengan pisau.
Melihat keberingasan Banser, penonton bubar ketakutan. Mereka takut
diamuk Banser.
Menjelang pecahnya peristiwa 1 Oktober 1965 yang diberi nama "Gerakan
30 September", aksi-aksi PKI yang menista dan menodai agama memang
makin meningkat. Namun tidak ada satu pun organisasi Islam baik
Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, PII, HMI, apalagi perorangan yang
berani melakukan perlawanan kecuali Banser. Dan sejarah memang
mencatat, sebelum pecahnya G-30-S/PKI antara PKI dan Banser memang
sering terlibat bentrokan fisik yang menumpahkan darah gara-gara
kasus
penodaan agama. Bahkan pada sejumlah kasus, terdapat sejumlah jagoan
PKI yang dibantai oleh Banser seperti peristiwa Kencong, Kediri, dan
Pagedangan, Turen, Malang
Aksi sepihak yang dilakukan PKI berpuncak pada pembunuhan atas Pelda
Sudjono di Bandar Betsy. Dengan menggunakan cangkul, linggis,
pentungan, dan kapak sekitar 200 orang BTI membantai perwira itu.
Pembantaian terhadap anggota militer itu mendapat reaksi keras dari
Letjen A Yani. Tokoh-tokoh PKI yang mendalangi kemudian diproses
secara hukum. Namun hal itu makin menambah keberanian PKI dalam
melakukan aksi sepihak.
PKI yang sudah merasa kuat, kemudian melakukan intervensi ke bidang
politik dengan merekayasa suatu "kebulatan tekad" dari organisasi
se-aspirasi mereka. Tanggal 6 Januari 1965, organisasi se-aspirasi
PKI
seperti SB/SS Pegawai Negeri, Lekra, Gerwani, Wanita Indonesia,
Pemuda
Indonesia, Germindo, Pemuda Demokrat, Pemuda Rakyat, BTI dan
sebagainya mengadakan pertemuan umum di Semarang guna menggalang
"kebulatan tekad" untuk menuntut pembubaran Badan Pendukung Soekarno
(BPS) dan mendukung sikap Indonesia keluar dari PBB (Pusjarah ABRI,
1995,IV-A:107- 108).
Keberanian PKI dalam melakukan aksi sepihak, ditunjukkan dalam aksi
yang lebih berani yakni menduduki kantor kecamatan Kepung, Kediri.
Camat Samadikun dan Mantri Polisi Musin, melarikan diri dan meminta
perlindungan Ketua Ansor Kepung yaitu Abdul Wahid. Untuk sementara,
kantor kecamatan dipindah ke rumah Abdul Wahid. Dan sehari kemudian,
sekitar 1000 orang Banser melakukan serangan ke kantor kecamatan
untuk
merebutnya dari kekuasaan PKI. Hanya dengan bantuan Gerwani, ratusan
PKI yang menguasai kantor itu bisa lolos dari sergapan Banser.
PKI juga telah mulai berani membunuh tokoh PNI. Ceritanya, di desa
Senowo, Kenocng, Kediri, tokoh PNI bernama Paisun diculik PKI desa
Botorejo dan Biro. Keluarganya lapor kepada Ansor. Waktu dicari,
mayat
Paisun ditemukan di WC dengan dubur ditusuk bambu tembus ke dada.
Banser dibantu warga PNI menyerang para penculik. Tokoh-tokoh PKI
dari
Botorejo dan Biro dibantai. Malah dalang PKI bernama Djamadi,
dibantai
sekalian karena menjadi penunjuk jalan PKI. Juni 1965, Naim seorang
pendekar PKI desa Pagedangan, Turen, Malang, menantang Banser sambil
membanting Al-Qur'an. Naim dibunuh Samad. Mayatnya dibenamkan di
sungai.
KUDETA 1 OKTOBER 1965
Tanggal 1 Oktober 1965 mulai pukul 03.30 sampai 05.00, gerakan makar
PKI yang dipimpin oleh Letkol Untung menculik para Jenderal AD yang
difitnah sebagai anggota Dewan Jenderal. Letjen Ahmad Yani, Brigjen
DI
Panjaitan, Mayjen Soetoyo, Mayjen Soeprapto, Brigjen S. Parman, dan
Mayjen Haryono MT mereka culik dan bunuh (Puspen AD, 1965: 9-10).
Sekalipun aksi itu terjadi 1 Oktober 1965, PKI menamakan aksinya itu
dengan nama "Gerakan 30 September". Tanggal 1 Oktober itu juga,
Letkol
Untung menyatakan bahwa kekuasaan berada di tangan Dewan Revolusi.
Untung juga menyatakan kabinet demisioner. Pangkat para jenderal
diturunkan sampai setingkat letnan kolonel, dan prajurit yang
mendukung Dewan Revolusi dinaikkan pangkat satu sampai dua tingkat.
Aksi sepihak Letkol Untung yang menculik para jenderal dan membentuk
Dewan Revolusi serta mendemisioner kabinet, jelas merupakan upaya
kudeta. Sebab dalam Dewan Revolusi itu tidak terdapat nama Presiden
Soekarno. Kabinet yang didemisioner pun adalah kabinet Soekarno. Dan
jenderal-jenderal yang diculik pun adalah jenderal-jenderal yang
setia
pada Soekarno. Bahkan Jenderal A.H. Nasution, adalah jenderal yang
pernah ditugasi Soekarno untuk menumpas PKI dalam pemberontakan di
Madiun 1948.
Menghadapi aksi sepihak Letkol Untung, tanggal 1 Oktober 1965 itu
juga
PBNU mengeluarkan pernyataan sikap untuk mengutuk gerakan tersebut.
Pada 2 Oktober 1965, pimpjna muda NU, Subchan Z.E., membentuk Komando
Aksi Pengganyangan Kontra Revolusi Gerakan 30 September disingkat KAP
GESTAPU yang mengutuk dan mengganyang aksi kudeta 1 oktober 1965 itu.
Tanggal 2 Oktober itu pula Mayjen Sutjipto, Ketua Gabungan V KOTI,
mengundang wakil-wakil ormas dan orpol yang setia pada Pancasila ke
Mabes KOTI di Jl Merdeka Barat. Rapat kemudian memutuskan untuk
secara
bulat berdiri di belakang Jenderal Soeharto dan Angkatan Darat (O.G.
Roeder, 1987: 48-49). Sementara di Kediri, tanggal 2 Oktober 1965
sudah tersebar pamflet-pamflet yang menyatakan bahwa dalang di balik
peristiwa 1 Oktober 1965 adalah PKI.
BENTROK BANSER VS PKI
10 Oktober 1965, sekalipun PKI menyatakan bahwa peristiwa 1 Oktober
yang dinamai 'Gerakan 30 September' itu adalah persoalan intern AD
dan
PKI tidak tahu-menahu, anggota Banser di kabupaten Malang mulai
menurunkan papan nama PKI beserta ormas-ormasnya. Hari itu juga,
tokoh-tokoh PKI di daerah Turen mulai diserang Banser dan dibunuh. Di
antara tokoh PKI yang terbunuh saat itu adalah Suwoto, Bowo, dan
Kasiadi. Palis, kawan akrab Bowo, karena takut dibunuh Banser malah
bunuh diri di kuburan desa Pagedangan.
11 Oktober 1965, Banser beserta santri dari berbagai pesantren di
Tulungagung menyerang PKI di kawasan Pabrik Gula Mojopanggung.
Sekitar
3 ribu orang PKI yang sudah bersiaga dengan senjata panah, kelewang,
tombak, pedang, clurit, air keras, dan lubang-lubang di dalam rumah,
berhasil dilumpuhkan. Tanpa melakukan perlawanan berarti, pasukan PKI
itu ditangkapi Banser dan disembelih. Para anggota Banser dan santri
yang usianya sekitar 13 - 16 tahun itu, berhasil melumpuhkan para
jagoan PKI.
Pada 12 Oktober 1965, sekitar 3 ribu orang anggota Banser mengadakan
apel di alun-alun Kediri. Setelah apel usai, mereka bergerak
menurunkan papan nama PKI beserta ormas-ormasnya di sepanjang jalan
yang mereka lewati. Di markas PKI di desa Burengan, telah siaga
sekitar 5 ribu orang PKI dengan bermacam- macam senjata.
Iring-iringan
Banser yang dipimpin Bintoro, Ubaid dan Nur Rohim itu kemudian
dihadang oleh PKI. Terjadi bentrokan berdarah dalam bentuk tawuran
massal. Sekitar 100 orang PKI di sekitar markas itu tewas. Sementara,
di pihak Banser tidak satupun jatuh korban. Dalam peristiwa itu,
Banser mendapat pujian dari Letkol Soemarsono, komandan Brigif 6
Kediri karena kemenangan mutlak Banser dalam tawuran massal itu.
Pada 13 Oktober 1965, sekitar 10 ribu orang PKI di kecamatan Kepung,
Kediri, melakukan unjuk kekuatan dalam upacara pemakaman mayat Sikat
tokoh PKI setempat yang tewas dalam peristiwa di Burengan. Mereka
menyatakan akan membalas kematian para pimpinan mereka. Dan sore
hari,
dua orang santri dari pondok Kencong yang pulang ke desanya di Dermo,
Plosoklaten, dicegat di tengah jalan. Seorang dibunuh. Tubuh
dicincang. Seorang dikubur hidup-hidup.
Kematian dua orang santri yang masih remaja itu, membuat Banser
marah.
Tapi mereka belum berani menyerbu ke desa Dermo, karena kedudukan PKI
di situ sangat kuat. Akhirnya, Banser setempat meminta bantuan Banser
dari pondok Tebuireng, Jombang. Dengan kekuatan lima truk, Banser
Tebuireng masuk ke desa Dermo. Truk mereka diberi tulisan BTI
singkatan dari Banser Tebu Ireng. Rupanya, PKI menduga bahwa BTI itu
adalah Barisan Tani Indonesia yang merupakan ormas mereka. Walhasil,
bagaikan siasat "kuda Troya", pertahanan PKI di desa Dermo
dihancurkan
dari dalam.
Pertarungan antara Banser dengan PKI yang berakibat fatal bagi Banser
adalah di Banyuwangi. Ceritanya, Banser dari Muncar yang umumnya dari
suku Madura dikenal amat bersemangat mengganyang PKI. Itu sebabnya,
pada 17 Oktober 1965, di bawah pimpinan Mursyid, dengan kekuatan tiga
truk mereka menyerang kubu PKI di Karangasem. Di Karangasem, terjadi
bentrok berdarah setelah Banser tertipu dengan makana beracun. Dalam
bentrokan itu 93 orang Banser gugur. Sisanya melarikan diri ke arah
Jajag dan ke arah Cluring. Ternyata, Banser yang lari ke Cluring
dihadang PKI di desa itu. Sekitar 62 orang Banser dibantai dan
dimakamkan di tiga lubang dekat kuburan desa.
Pada 27 Oktober 1965, pemerintah mengeluarkan seruan agar
masing-masing ormas tidak saling membunuh dan melakukan aksi
kekerasan. Siapa saja yang melakukan penyerangan sepihak, akan
diadili
sebagai penjahat. Seruan itu dimanfaatkan oleh PKI. Mereka melaporkan
anggota Banser yang telah membunuh keluarga mereka. Dan jadilah
hari-hari sesudah 27 Oktober itu penangkapan dan pemburuan aparat
keamanan terhadap Banser.
PENUMPASAN PKI
Dalam bulan November-Desember, setelah sejumlah pimpinan PKI seperti
Brigjen Supardjo, Letkol Untung, Nyono, Nyoto, dan Aidit diberitakan
tertangkap, makin terkuaklah bahwa perancang kudeta 1 Oktober 1965
adalah PKI. Saat-saat itulah pihak ABRI khususnya AD mulai melakukan
pembersihan dan penumpasan terhadap PKI beserta ormas-ormasnya. Dan
tangan kanan yang digunakan oleh pihak militer itu adalah "anak
didik"
mereka sendiri dalam hal ini adalah Banser yang memiliki jumlah
anggota puluhan ribu orang.
Dalam suatu aksi penangkapan dan penumpasan PKI di Kediri, misalnya,
pihak AD hanya menurunkan 21 personil. Sedang Banser yang dilibatkan
mencapai jumlah 20 ribu orang lebih. Dengan jumlah yang besar itu,
diadakan operasi yang disebut "Pagar Betis" yakni wilayah kecamatan
Kepung dikepung oleh Banser dalam jarak satu meter tiap orang. Dengan
cara pagar betis itulah, PKI tidak dapat lolos. Sekitar 6000 orang
PKI
tertangkap (kisah lengkap terdapat dalam buku saya berjudul "Banser
Berjihad Menumpas PKI" 1996).
Penangkapan besar-besaran juga terjadi di Banyuwangi, Blitar, Malang,
Tulungagung, Lumajang dan kesemuanya melibatkan Banser. Mengenai
keterlibatan Banser dalam menumpas PKI, itu Komandan Kodim Kediri
Mayor Chambali (alm) menyatakan bahwa hal itu merupakan strategi ABRI
yang ampuh. Sebab di tubuh Banser tidak tersusupi unsur PKI.
Sementara
jika dalam penumpasan itu hanya ABRI yang dilibatkan, maka pihak ABRI
sendiri belum bisa menentukan siapa lawan dan siapa kawan karena
banyaknya anggota ABRI yang dibina PKI.
OPERASI TRISULA
Tahun 1968, ketika PKI sudah dibubarkan dan pengikutnya ditumpas,
terjadi aksi-aksi kerusuhan di Blitar Selatan. Aksi- aksi kerusuhan
yang berupa perampokan, penganiayaan, penculikan, dan pembunuhan itu
selalu mengambil korban warga NU dan PNI. Sejumlah korban yang
terbunuh, misalnya, Kiai Maksum dari Plosorejo, Kademangan. Sesudah
itu Imam Masjid Dawuhan. Tokoh PNI yang terbunuh adalah Manun dari
desa Dawuhan, kemudian Susanto Kepala Sekolah Panggungasri, dan
Sastro
kepala Jawatan Penerangan Binangun. Puncaknya, 2 orang anggota Banser
yang sedang jaga keamanan di gardu di bunuh.
Para pimpinan Ansor Blitar melaporkan kecurigaan mereka kepada
Komandan Kodim akan bangkitnya kembali kekuatan PKI di Blitar. Namun
laporan itu tak digubris. Akhirnya, mereka menghubungi seorang
aktivis
Ansor yang menjadi Danrem Madiun yakni Kolonel Kholil Thohir. Oleh
Kholil Thohir disiapkan 3 batalyon yaitu 521, 511, dan 527 untuk
operasi yang diberi nama sandi "Operasi Blitar Selatan" . Namun
operasi berkekuatan 3 batalyon itu tidak mampu mengatasi gerakan
gerilya PKI.
Operasi kemudian diambil-alih oleh Kodam VIII/ Brawijaya yang
menurunkan 5 batalyon yaitu 521, 511, 527, 513, dan 531 dengan
Perintah Operasi No.01/2/1968. Namun operasi dari Kodam inipun kurang
efektif. Akhirnya, setelah dievaluasi diadakan operasi besar-besaran
dengan melibatkan semua unsur yakni kelima batalyon ditambah
unsur-unsur lain termasuk 10 ribu orang hansip dan warga masyarakat
Blitar Selatan. Surat perintah operasi itu bernomor 02/5/1968. Dan
penting dicatat bahwa 10 ribu orang Hansip itu adalah anggota Banser
yang diberi pakaian Hansip.
Dalam operasi terpadu yang diberi nama sandi "Operasi Trisula" itu,
sejumlah tokoh PKI berhasil ditewaskan. Di antara mereka itu adalah
Ir
Surachman dan Oloan Hutapea. Sedang mereka yang tertangkap di
antaranya adalah Ruslan Wijayasastra, Tjugito, Rewang, Kapten
Kasmidjan, Kapten Sutjiptohadi, Mayor Pratomo, dan beratus-ratus
anggota PKI yang lain. Dan salah satu strategi operasi yang paling
efektif dalam Operasi Trisula itu adalah "Pagar Betis" yang
melibatkan
10.000 orang Banser ditambah warga masyarakat yang kebanyakan juga
anggota Banser yang tidak kebagian seragam. Satu ironi mungkin
terjadi
dalam Operasi Trisula itu, yakni selama operasi itu berlangsung telah
ditangkap sejumlah 182 orang anggota Kodam VIII/Brawijaya di
antaranya
berpangkat perwira yang ikut dalam operasi tersebut (Pusjarah ABRI,
1995, IV-B:101-108) .
Berdasar uraian singkat ini, dapat disimpulkan bahwa kelahiran Banser
tidak terlepas dari peranan ABRI terutama AD dan Brimob yang ikut
membidaninya. Itu sebabnya, keberadaan Banser sebagai paramiliter
yang
digunakan untuk membantu proses penumpasan PKI oleh ABRI memiliki
nilai historis yang kuat, di mana semangat antikomunisme yang
terkristalisasi dalam doktrin Banser itu dapat dimanfaatkan
sewaktu-waktu oleh pihak ABRI jika negara dalam keadaan terancam
(habis)