M. Ajisatria Suleiman
Hanya orang-orang yang super pintar yang dapat terlibat dalam industri keuangan. Bagaimana tidak, instrumen di pasar keuangan saat ini telah menjelma menjadi makhluk-makhluk super canggih, dengan perhitungan yang super rumit, melalui konstruksi hukum yang super kompleks, sehingga akhirnya dihasilkan produk keuangan yang katanya menguntungkan, sebelum krisis keuangan global menghancurkan mimpi-mimpi untuk kaya mendadak ini. Industri keuangan dikuasai oleh fund manager kelas kakap, yang biasanya lulusan sekolah keuangan ternama, bahkan banyak yang berlatar belakang doktor tidak hanya di bidang ekonomi tetapi juga matematika, dan juga oleh lawyer-lawyer terbaik yang dihasilkan oleh sekolah hukum.
Mereka lah otak di balik produk-produk aneh bin ajaib dengan nama eksotis (seakan mengundang untuk dimiliki dengan iming-iming keuntungan super besar) antara lain option, right, warrant, credit default swap, futures, collateralized debt obligation, credit link note, asset backed securities, mortgage backed securities, dan entah puluhan produk-produk lainnya yang sejenis yang dalam industri keuangan dikenal dengan istilah “instrumen derivatif.” Ternyata nasib berkata lain, produk-produk itulah yang akhirnya menjadi malapetaka salah satu krisis terbesar dalam sejarah ekonomi modern dunia. Agaknya, semakin sexy namanya, semakin mantap pula goyangannya.
Makhluk Bernama Mortgage Backed Securities (MBS)
Mengingat krisis global dipicu dari kejadian di luar sana, Amerika Serikat, tidak banyak yang mengetahui secara menyeluruh asal-muasalnya, namun setiap orang pasti pernah mendengar istilah ini: subprime mortgage. Subprime Mortgage sebenarnya tidak lain adalah kredit perumahan yang diberikan kepada mereka yang sebenarnya tidak layak diberikan pinjaman, sebut saja masyarakat menengah ke bawah, namun sangat membutuhkan pembiayaan untuk memiliki perumahan. Meskipun demikian, bukan subprime mortgage itu sendiri yang menyebabkan krisis keuangan, melainkan produk derivatifnya yang sebenarnya merupakan efek (sekuritas) beragun subprime mortgage itu sebagai jaminan atas perumahan (supaya sederhana, sebut saja hipotek).
Ketika seseorang meng-kredit rumah, maka ia akan membayar cicilan sejumlah tertentu setiap bulannya dengan jaminan hipotek atas rumah tersebut. Bank sebagai penerima cicilan akan mendapatkan keuntungan setiap bulannya dari cicilan dan bunga pembayaran. Masalahnya, bagaimana jika bank membutuhkan uang dalam jumlah yang banyak dalam waktu singkat: jawabannya, piutang bank atas si debitur (pemilik rumah) bisa dijual, tentu dengan harga diskon. Misalnya, jika utang si pemilik rumah beserta cicilan berjumlah total 100 juta, maka utang itu bisa dijual oleh bank kepada pihak lain dengan harga 95 juta. Si pihak ketiga mendapat keuntungan 5 juta, sementara si bank merugi 5 juta, namun ia bisa mendapatkan uang dalam jumlah besar ketimbang harus menunggu sampai cicilan berakhir.
Tidak ada yang salah dengan mekanisme di atas, karena perdagangan utang hanya bertujuan untuk mengatasi permasalahan likuiditas (si pemegang piutang butuh uang cepat). Namun, ketamakan terjadi ketika piutang-piutang tersebut digabungkan dan dijual dalam jumlah besar, tidak lagi atas nama likuiditas, melainkan untuk mendapatkan uang mudah (easy money).
Bayangkan jika ada 1.000.000 orang yang memiliki utang ke bank dengan cicilan berbeda dan tanggal jatuh tempo yang berbeda pula. Seluruh utang tersebut digabung menjadi satu, melalui proses keuangan dan konstruksi hukum yang rumit, menjadi suatu efek atau surat berharga yang diperdagangkan di pasar modal. Efek inilah yang bernama Mortgage Backed Securities (MBS).
Bank menjual piutang-piutangnya kepada lembaga keuangan yang disponsori pemerintah, Fannie Mae dan Freddie Mac, dan mereka lah yang kemudian mensekuritisasi piutang-piutang bank menjadi MBS, dan kemudian diperjual-belikan di pasar modal. Keuntungannya, pemegang MBS akan mendapatkan keuntungan dari setiap pembayaran cicilan dari para pemilik rumah, sementara Fannie Mae dan Freddie Mac dapat menggunakan dana hasil emisi MBS untuk kegiatan lainnya (tidak jarang untuk jaminan berutang lagi). Singkat kata, utang yang dimiliki bank dijadikan landasan untuk berutang lagi (luar biasa kecerdasan, sekaligus ketamakan, bankir-bankir dan lawyer-lawyer Wall Street ini).
MBS dibeli oleh investor, yang kemudian dibeli lagi oleh investor, dan seperti itu seterusnya sampai entah berapa banyak investor (biasanya bank investasi) yang terlibat dari cicilan rumah masyarakat. Dalam keadaan ekonomi yang bullish (naik), semua pihak senang karena masing-masing mendapat keuntungan dari hasil cicilan rumah itu. Namun efek dominonya, ketika suku bunga bank naik dan ternyata pemilik rumah tidak mampu membayar cicilan dan utang (alias wanprestasi), bisa dibayangkan berapa banyak pihak yang akan terkena imbasnya, yang tidak mendapatkan keuntungan yang diharapkan, dan inilah awal dari krisis subprime mortgage yang mulai terasa sejak dua tahun lalu di AS. Sialnya, MBS ini acapkali berujung di bankir-bankir investasi besar macam Lehman Brothers dan Morgan Stanley. Jadi, ketika krisis subprime menguak, hancurlah lembaga-lembaga keuangan ini.
Permasalahan itu bernama Credit Default Swap (CDS)
Satu lagi virus yang menjadi penyakit krisis keuangan global bernama Credit Default Swap (CDS). CDS yang terkait dengan MBS pun akhirnya harus ikut hancur dan menciptakan lingkaran setan baru dalam krisis keuangan global ini.
CDS pada dasarnya hanyalah sebuah kontrak, perjanjian, antara dua pihak yang membebankan hak dan kewajiban bagi keduanya. CDS merupakan perjanjian yang dibuat antara “pembeli perlindungan” (protection buyer) dan “penjual perlindungan” (protection seller) yang menjamin suatu obligasi (surat utang) atau pinjaman tertentu (obyek yang dijaminkan ini dikenal dengan istilah referenced entity) apabila obligasi atau pinjaman tersebut mengalami gagal bayar/wanprestasi/default. Dalam CDS, pembeli perlindungan harus membayar sejumlah uang tertentu untuk membeli kontrak tersebut, dan setiap tahunnya harus membayar premi tertentu kepada penjual perlindungan untuk melindungi kerugian yang mungkin timbul dari obligasi atau pinjaman yang menjadi referensi (dasar) selama waktu tertentu, biasanya 5 (lima) tahun.
Sederhananya seperti ini. C adalah pemegang Sub-Prime MBS sebesar US$20 Juta. Anggap saja X adalah suatu perusahaan investasi ingin menjadi penjual perlindungan, maka X akan membuat perjanjian dengan C yang pada intinya menyatakan bahwa pembayaran hipotik MBS yang dipegang C wanprestasi, X akan membayarnya. Sebagai gantinya, X meminta pembayaran premi secara berkala dari C atas penanggungan tersebut. Konstruksi ini sebenarnya sangat mirip dengan asuransi, meskipun dengan berbagai perbedaan yang akan dijelaskan di bagian berikutnya.
Untuk apa ada CDS? Jika dimainkan dengan baik, CDS bertujuan sebagai sarana lindung nilai (hedging). C ingin melindungi, atau setidak-tidaknya mendapatkan kepastian, atas aset yang mereka miliki. Maksudnya, dengan CDS, mereka bisa mendapatkan “kepastian” mengenai jumlah aset mereka karena sudah dijamin oleh penjual perlindungan berdasarkan CDS. C memang harus membayar sedikit lebih mahal (karena harus membayar kontrak dan premi CDS), namun mereka mendapatkan jaminan bahwa apabila terjadi wanprestasi, mereka tetap akan dibayar.
Namun demikian, terdapat pula pihak-pihak yang menggunakan CDS sebagai sarana spekulasi dan bukan sebagai sarana lindung nilai. Mereka adalah pihak-pihak yang membeli CDS tanpa ada hubungan dengan referenced entity, jadi pembelian tersebut bukan dalam rangka lindung nilai. Mereka adalah pihak-pihak yang hendak bertaruh apakah suatu efek akan gagal bayar atau tidak. Sialnya, lagi-lagi perusahaan investasi besar macam Lehman Brothers merupakan penjual perlindungan yang sangat besar di AS, sehingga kedudukannya semakin terpuruk dalam krisis global ini (pailitlah ia!).
CDS hanyalah kontrak bilateral antara dua pihak tanpa ada regulasi apapun yang mengaturnya, kecuali ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam kontrak CDS tersebut. Oleh karena itu, jaminan yang diberikan oleh satu pihak kepada pihak lain hanyalah yang termuat dalam CDS, tanpa ada campur tangan pemerintah atau regulator lain seperti kalau di Indonesia ada Bank Indonesia (BI) atau BAPEPAM (Badan Pengawas Pasar Modal). Sesuai dengan prinsip “kebebasan berkontrak,” hal tersebut adalah sah-sah saja. Namun disinilah letak gunung es kehancurannya, karena resiko yang ada sangat-sangat besar sekali: CDS hanya bergantung pada kepercayaan terhadap si penjual perlindungan. Meskipun penjual perlindungan biasanya adalah lembaga-lembaga keuangan bonafide (JP Morgan, Bear Stearns, AIG), ternyata tidak ada jaminan bahwa mereka pun mampu membayar resiko yang mereka janjikan untuk ditanggung.
Di sinilah para ahli keuangan itu dengan pintar memberikan produk ini nama "SWAP" sehingga tidak perlu ada regulasi. Jika namanya adalah asuransi (yang sebenarnya memang produk ini adalah asuransi atas wanprestasi), otomatis harus tunduk pada regulasi asuransi, misalnya pencadangan minimal atau rasio kecukupan modal.
Dalam ekonomi yang sedang naik, penerbitan CDS merupakan prospek yang menguntungkan karena si penjual perlindungan bisa mendapatkan uang tanpa modal apapun (kecuali membayar konsultan keuangan dan lawyer). Mengingat tidak ada regulasi apapun, dengan hanya bermodal nama besar dan kepercayaan nasabah, suatu lembaga keuangan dapat membuat perjanjian CDS dengan bank komersial atau bank investasi untuk menjamin utang-utang di bank-bank tersebut. Jika kredit atau bursa saham sedang bagus, maka tingkat gagal bayar menjadi rendah, dan penjual perlindungan mendapatkan aliran uang pembayaran premi secara rutin, sekali lagi, tanpa biaya apapun. Namun jika ekonomi sedang turun, siapa yang menjamin semua berjalan lancar?
Pelajaran Berharga
Apa pelajaran berharga yang dapat diambil? Sederhanya, janganlah kita terlalu tamak untuk mendapatkan uang mudah. Kalau kata kakek kita, uang itu didapat dari hasil kerja keras, tidak bisa bermodal kejeniusan intelektual belaka kemudian merancang berbagai instrumen super canggih bisa menghasilkan keuntungan seketika tanpa modal finansial. Perdagangan MBS atau CDS yang begitu pesat menunjukkan semua orang ingin ikut mengambil kue keuntungan, meski akhirnya semua menjadi buntung. Sedemikian canggihnya perhitungan itu dibuat, atau konstruksi hukum itu disusun, apabila “barangnya” hanya rekayasa finansial belaka, bobroknya akan terlihat juga.
Satu pelajaran lain adalah bahwa industri keuangan sudah sedemikian kompleksnya sehingga akhirnya lupa dari tujuan utamanya. Tujuan asli kredit rumah adalah untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk memiliki rumah meskipun penghasilannya mungkin pas-pasan. Jika kredit itu kemudian diperjual belikan secara masif agar bank mendapatkan keuntungan sampingan, tentu hal ini sudah bertentangan dengan kodrat asli dari kredit itu sendiri. Singkat kata, agaknya pelajaran manajemen 101 harus diangkat sebagai penutup tulisan ini: KISS (Keep It Simple, Stupid).